Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang Jenderal-jenderal yang dibunuh.
Demikian dikatakan Direktur Utama (Dirut) TVRI Iman Brotoseno di blog miliknya http://blog.imanbrotoseno.com/kesaktian-pancasila-masih-relevan/#more-3654 dalam karyanya berjudul “Kesaktian Pancasila. Masih relevan ?”
Kata Iman Broroseno, setiap tanggap 1 Oktober mestinya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu.
“Sekian lama kita membenarkan tindakan pembantaian itu, merupakan pembalasan yang dilakukan rakyat, sebagai reaksi atas tindakan kekerasan yang sebelumnya dilakukan oleh anggota PKI.
Kata Iman Brotoseno, kita banyak melupakan pembantaian kepada mereka yang dianggap komunis, lebih banyak menyasar kepada orang-orang yang tidak bersalah. Tidak hanya keluarga para korban. Tapi juga guru guru yang tak tahu politik dan hanya ikut berteriak “Guru lapar mereka tak bisa mengajar“.
“Bagaimana kita menjelaskan ribuan guru yang hilang dari sekolah sekolah dalam periode tersebut. Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadap wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra,” jelasnya.
Tidak hanya pembunuhan, tetapi juga penindasan. Isteri isteri anggota Angkatan Udara yang diludahi di pasar pasar paska G 30 S. Anak anak korban yang tidak bisa memperoleh pekerjaan karena alasan ‘ tidak bersih lingkungan ‘. Belum mereka yang diusir dari rumahnya, karena rumah mereka diambil secara paksa.
Iman Brotoseno mengatakan, Lubang buaya bukan hanya sumur di Pondok Gede. Masih ada jurang-jurang atau lubang besar yang menampung ribuan jasad mereka yang dianggap PKI.
“Setelah dibantai, mereka dilempar ke Watu Ongko Tuban, jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan masih banyak lubang lubang dan jurang di penjuru negeri,” paparnya.
Beranikah kita meminta maaf kepada keluarga Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare, Kediri. Istrinya yang hamil 9 bulan di tangkap pemuda pemuda dari organisasi sipil. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak anak itu tidak dijamin keselamatannya.
“Tidak ada salahnya, jika bangsa ini meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan masa lampau. Ketakutan bahwa permintaan maaf akan membuka luka lama, tak perlu ditakuti, karena sejarah tak harus ditutupi. Kalau kelak rekonsiliasi ini tercipta, Pancasila tak perlu lagi diperingati kesaktiannya. Ia cukup dihayati karena kebajikannya,” pungkasnya.