Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar
Pada awal Mei, dalam rapat kabinet, Jokowi mengharuskan para menterinya menurunkan kurva kasus positif covid-19 pada Mei. “Bagaimanapun caranya,” katanya. Pakar psikologi UI mengatakan, pernyataan Jokowi ini menunjukkan ia sangat marah oleh kenyataan kasus positif covid-19 masih tinggi di negeri ini.
Faktanya, hingga 23 Mei kurva kasus positif covid-19 menunjukkan angka kenaikan yang sangat tajam, hampir 1.000 orang dalam sehari. Seolah tak mau mengakui kenyataan ini, Jokowi meminta Wapres KH Ma’ruf Amin meyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah kepada seluruh masyarakat Indonesia terkait masih bertahannya covid-19 di negeri ini.
Permintaan maaf pemerintah ini pun terkesan tidak tulus karena disertai dalih untuk mencuci tangan pemerintah. Ma’ruf berdalih covid-19 merupakan virus yang sangat sulit untuk dihadapi. Belum lagi wilayah Indonesia sangat luas dan penduduknya sangat banyak. Dalih ini tentu saja mengada-ada.
Penyebabnya bukan terletak pada sifat virus dan realitas geografi serta demografi Indonesia. Karena kalau ini faktor penyebabnya, mestinya Cina dan India merupakan negara paling gagal menanggulangi corona. Buktinya mereka jauh lebih berhasil dari kita.
Kesalahannya ada pada mentalitas, inkonsistensi, dan inkompetensi rezim Jokowi dalam menangani covid-19. Golden time selama tiga bulan pertama terbuang sia-sia karena sikap remeh rezim menghadapi covid-19. Berikut, inkompetensi rezim karena tidak fokus dan kebijakannya tidak didasarkan pada nasihat pakar virologi dan epidemologi. Rezim lebih fokus menyelamatkan ekonomi ketimbang rakyat.
Ketika menerapkan PSBB, kebijakan itu pun tidak dilaksanakan secara ketat dan konsisten, melainkan simpang-siur dan berubah-ubah. Maka kita menyaksikan pembiaran pelanggaran physical dan social distancing di mana-mana. Ribuan orang berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, mall, pasar, dan tempat-tempat lain. Jokowi dan Ketua MPR Bambang Soesatyo ikut berkerumun dengan ribuan penonton konser musik virtual yang diadakan BPIP. Sementara Habib Bahar bin Smith yang berceramah ditengah jamaahnya ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Dengan demikian, seharusnya Jokowi tak usah berharap muluk-muluk kasus positif covid-19 akan menurun pada Mei. Apalagi disertai kalimat “bagaimanapun caranya.” Harapan dan perintah itu tidak realistis karena tidak berbasis pengetahuan dan kebijakan yang kredibel.
Rakyat malah memahami Jokowi telah buang handuk ketika ia mengatakan kita harus berdamai dengan corona. Ini berarti ia menganjurkan kita untuk bersedia hidup bersama corona. Ini juga sikap yang keliru. Karena corona tidak mau berdamai dengan kita. Gencatan senjata tidak akan tercapai kalau hanya salah satu pihak yang berperang yang ingin berdamai. Memang seharusnya Jokowi membangkitkan semangat berperang kita melawan corona sebagaimana ia mengajak anggota G-20 untuk tidak menyerah melawan pandemi ini.
Meskipun kemudian juru bicara istana meluruskan ucapan Jokowi itu, tetap saja tak bisa menghapus kesan di masyarakat bahwa presiden telah putus asa menghadapi corona yang telah menjungkirbalikkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya mengancam eksistensi rezim.
Menghadapi covid-19 sebenarnya sederhana. Asal saja rezim memberlakukan PSBB secara ketat dan konsisten, dan rakyat juga menerapkan protokol kesehatan secara berdisiplin dalam aktivitas mereka, wabah covid-19 akan dapat diatasi dengan gemilang sebagaimana yang dicapai Vietnam dan beberapa negara lainnya. Faktanya, sejak awal rezim tidak serius menangani covid-19 sehingga masyarakat pun latah.
Dus, kalau Jokowi ingin corona dapat ditanggulangi secepatnya, tak usah memaksa-maksa menteri dengan target yang tidak realistis, sementara kebijakan rezim menghadapi corona jauh dari memadai. Apalagi Jokowi sendiri memberi contoh yang buruk. Di tengah wabah ini, ketika rakyat diminta berdiam di rumah, ia malah keluyuran siang malam membagi beberap paket sembako di bawah sorotan kamera wartawan untuk membangun citra positifnya. Bukan main, di masa krisis ini ia masih sempat-sempatnya memanfaatkan situasi untuk kepentingan kekuasaan dirinya. Ia berselfie ria di tengah kerumunan orang yang menonton konser musik.
Dengan demikian, kurva kasus positif covid-19 tidak akan melandai sepanjang presiden dan pejabat negara lain tidak konsisten menerapkan PSBB. Menurut pakar kesehatan UI, kasus positif corona di Indonesia akan melejit pasca lebaran. Pasalnya, rezim menutup mata atas peristiwa-perisitiwa kerumunan orang, terutama di mall, pasar, terminal, pelabuhan, dan bandara beberapa hari menjelang lebaran. Banyak pengurus masjid juga melawan kebijakan pemerintah dengan mengadakan shalat Ied berjamaah di masjid.
Jokowi memang sedang diejek covid-19 karena ketidakmampuannya memahami sifat dan kekuatan musuh. Mungkin juga faham, tapi tidak mengeluarkan kekuatan penuh untuk melawannya karena kekuatan dialihkan untuk tujuan lain. Ahli perang klasik dari Cina, Sun Tzu, mengatakan: dalam perang, gunakan kekuatan normal untuk bertahan dan gunakan kekuatan penuh untuk menang. Dalam konteks rezim Jokowi, jangankan menggunakan kekuatan penuh dalam menghadapi musuh tak terlihat dan lincah ini, sekadar menggunakan kekuatan normal saja tidak.
Maka, tak usah heran kalau musuh akan memenangkan perang di medan Indonesia karena pertahanan kita tidak kuat. Determinasi kita untuk berperang pun lemah. Ada yang mengusulkan agar Jokowi melakukan reshuffle cabinet untuk memungkinkan perlawanan maksimal rezim terhadap covid-19. Usul ini bertolak dari asumsi bahwa kinerja beberapa menteri yang mengurus corona jauh dari memadai.
Asumsi ini tentu saja salah karena faktanya Jokowi-lah episentrum dari semua masalah bangsa hari ini. Sepintar apa pun orang yang duduk di kabinet tak akan dapat berbuat banyak kalau presiden tak punya visi untuk diimplementasikan para pembantunya. Jadi, yang logis adalah penggantian pemimpin puncak. Hanya dengan cara ini Indonesia bisa keluar dari permasalahan bangsa yang menumpuk yang diciptakan oleh rezim di bawah pimpinan Jokowi yang tidak punya kapasitas untuk memimpin bangsa besar ini.
CATATAN KRITIS IDe#53*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 25 Mei 2020