Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar
Tiga hari menjelang lebaran, Wapres KH Ma’ruf Amin atas nama pemerintah meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia karena covid-19 belum hilang sampai saat ini. Hal itu dikatakan dalam siarannya di kanal youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 21 Mei 2020. Mengapa Wapres, bukan Presiden sendiri yang menyampaikannya? Mungkin berdasarkan tiga alasan berikut.
Pertama, Presiden merasa tidak lagi dipercaya publik atas upaya penanggulangan covid-19 selama ini. Bukan hanya para penentangnya, tapi juga pendukung fanatiknya. Sebagian mengambil posisi netral, sebagian lain bergabung dengan oposisi. Hal ini terlihat dari viralnya hastag #IndonesiaTerserah.
Masyarakat frustrasi atas inkonsistensi pemerintah menerapkan PSBB. Masyarakat diminta berdiam di rumah sesuai anjuran pemerintah, namun terjadi pembiaran dalam kerumunan massa besar di bandara, pelabuhan penyeberangan, pasar, dan mall. Bahkan, Presiden ikut mendukung pengumpulan massa saat BPIP menggelar konser musik virtual.
Bukan cuma itu. Pemerintah juga terlihat kurang serius menanggulangi corona sejak awal. Hal ini menyebabkan corona menyebar ke seluruh Indonesia dengan korban jiwa, sosial, dan ekonomi yang sangat besar. Di saat mata rantai corona belum dapat diputus, pemerintah malah melakukan relaksasi PSBB. Hal ini menyebabkan penanganan corona akan memakan waktu lebih lama dari semestinya. Padahal, rakyat menghadapi belitan ekonomi yang sungguh berat.
Maka, Ma’ruf Amin, yang bisa dikata relatif bebas dari tanggung jawab pembuat beleid-beleid corona, disuruh maju meminta maaf pada rakyat, khususnya umat Islam, terkait kelalaian rezim mengatasi corona. Hal itu terkonfirmasi dengan disiarkannya kemunculan Ma’ruf di kanal youtube BNPB.
Kedua, sebagai ulama sepuh, diharapkan suaranya didengar umat Islam. Setidaknya kalangan Nahdliyyin. Apalagi belakangan ini suara-suara kritis dari PBNU terkait Program Kartu Prakerja, RUU Omnibus Law, dan Perppu Corona-19 pada bermunculan. Bahkan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyatakan kecewa dengan konser musik virtual itu, yang menurut Ma’ruf, orang yang menonton dan berdonasi untuk konser itu pahalanya melebihi puasa.
Ketiga, momennya dianggap tepat untuk permintaan maaf Ma’ruf atas nama pemerintah. Menjelang berakhirnya Ramadhan, ketika secara psikologis kaum Muslim siap membuka pintu maaf seluas-luasnya, permintaan maaf ulama sepuh dianggap lebih efektif dibanding Presiden sendiri yang kesalahannya pada masyarakat bertumpuk-tumpuk.
Namun demikian, saya tidak yakin apa yang dilakukan Ma’ruf akan tepat sasaran. Pasalnya, sejak bergabung dengan rezim Jokowi, Ma’ruf kehilangan dukungan dari kaum Islamis. Wibawanya sebagai ulama besar rontok. PBNU nampaknya juga kecewa padanya. Meskipun posisinya Wapres, Ma’ruf seperti tidak berperan apa-apa dalam pembuatan beleid pemerintah. Padahal, dukungan kaum Nahdliyin kepada Jokowi-Maruf dalam pilpres kemarin diharapkan menjadi peluang NU melalui Ma’ruf untuk mendorong rezim merealisasikan agenda-agenda NU. Nyatanya, sia-sia. Ma’ruf tidak dapat melakukan apa-apa kecuali sebagau pemberi legitimasi agama pada rezim.
Permintaan maaf Ma’ruf juga tidak efektif karena dilakukan dengan apologi sehingga terkesan tidak tulus. Ma’ruf mengatakan mengatasi Covid-19 bukan hal yang mudah. Virus ini sulit dihadapi, katanya, apalagi wilayah dan penduduk Indonesia sangat besar dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Tentu ucapan ini tidak kredibel. Mestinya, dalam meminta maaf, rezim tidak usah berlindung di balik alasan sulitnya mengatasi virus ini dan Indonesia negara besar dengan banyak penduduknya. Cina adalah negara yang jauh lebih besar dengan penduduk lima kali lebih banyak daripada Indonesia. Toh, Cina relatif berhasil.
Berapologi seperti itu, yang terkesan mencuci tangan dari kelalaian dan inkompetensi rezim menangani corona, justru membuat rakyat muak. Dan Ma’ruf dipandang sebagai mainan Presiden untuk menjadi pencuci piring kotor rezim. Agar daya persuasinya efektif, Ma’ruf mengatakan saat ini pemerintah sedang memikirkan bagaimana melakukan pemulihan di bidang ekonomi akibat terimbas corona.
Dalam waktu dekat, katanya, pemerintah segera akan menggulirkan perekonomian agar segera pulih seperti semula. Tentu saja ini omong kosong. Waktu dekat kapan? Pemulihan ekonomi seperti sediakala mustahil bisa dilakukan sepanjang covid-19 masih merajalela. Pemerintah sendiri menargetkan pemulihan ekonomi baru bisa terjadi dalam dua tahun ke depan.
Permintaan maaf yang efektif harus dilakukan secara tulus dari jiwa yang besar. Jiwa yang kerdil, yang cenderung tak mau disalahkan, tak akan bisa diterima masyarakat. Toh, penanganan yang salah terhadap covid-19 telah membuat masyarakat menderita lahir batin. Dalam hal ini, masyarakat hanya mau memaafkan kalau pemerintah menunjukkan kesungguhan memutus mata rantai penyebaran corona dan membantu seluruh warga yang terdampak. Tentu harapan masyarakat ini sulit diwujudkan rezim karena kepentingan pemodal lebih diutamakan.
CATATAN KRITIS IDe#52*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 23 Mei 2020