Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbubakar
Sudah jatuh tertimpa tangga! Itulah pepatah yang berlaku pada Indonesia saat ini. Negara-negara di Asia Timur kecuali Cina, Singapura, Australia, dan Zelandia Baru, ramai-ramai menolak kedatangan warga Indonesia ke negara mereka hingga waktu yang belum ditentukan. Sangat mungkin dalam beberapa hari ke depan negara lain akan menyusul. Ini akan memukul perekonomian Indonesia lebih jauh karena mobilitas TKI dan pebisnis ke negara-negara itu terhenti total. Dan menimbulkan masalah sosial baru di negeri ini.
Tindakan negara-negara itu untuk mengisolasi Indonesia tak dapat disalahkan. Masalahnya, kebijakan pemerintah Jokowi dalam menanggulangi penyebaran covid-19 tidak kredibel, inkompeten, dan inkonsisten. Sudah tidak memgambil opsi lockdown, kebijakan PSBB pun tidak dilaksanakan secara tegas dan jelas. Malah, pemerintah melakukan relaksasi PSBB ketika kasus positif covid-19 masih tinggi.
Kebijakan PSBB yang amburadul, bukan saja mengkhawatirkan negara-negara tersebut di atas, tapi juga dikeluhkan pemda. Mereka telah berusaha menerapkan PSBB secara konsisten. Namun, kebijakan itu menjadi tidak efektif ketika pemerintah pusat melonggarkan PSBB yang memungkinkan terjadinya mobilitas orang yang berpindah dari satu ke tempat lain dalam jumlah besar. Akibatnya, corona menyebar cepat sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Ini membuat pemda pusing tujuh keliling.
Frustrasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah pusat yang berubah-ubah terkait kebijakan penanggulangan wabah corona terlihat dari viralnya tag#Indonesia Terserah. Ini adalah bentuk kekecewaan masyarakat setelah melihat berjubelnya manusia di Bandara Soetta, di pelabuhan-pelabuhan penyeberangan, mall, pasar, dan terlebih dilanggarnya physical distancing dalam acara konser musik virtual — diselenggarakan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan MPR, Gugus Tugas Percepatan Penanggukangan Covid-19, dan instansi lain — yang dihadiri Presiden dan Ketua MPR.
Sementara ceramah Habib Bahar bin Smith yang mengundang kerumunan ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan. Kekecewaan lain masyarakat, saat kerumunan orang di banyak tempat diizinkan, shalat berjamah di masjid maupun di lapangan tidak diperbolehkan. Maka #Indonesia Terserah adalah civil disobidience (pembangkangan sipil) terhadap PSBB. Rakyat siap menanggung apa pun akibat hukum yang mungkin dijatuhkan pemerintah sebagai konsekuensi pelanggaran PSBB.
Berikut, negara-negara tersebut di atas tidak mempercayai data kasus positif covid-19 yang diumumkan pemerintah setiap hari. Pasalnya, sumber-sumber lain yang lebih kredibel, di dalam maupun luar negeri, khususnya dari Pemprov DKI Jakarta, menyodorkan data yang berbeda jauh dari data pempus. Ketika pada hari ini pempus mengumumkan angka kematian akibat covid-19 baru mencapai lebih dari seribu orang, pemprov DKI mengestimasi jumlahnya sudah jauh lebih besar.
Memang tidak mungkin angka kasus positif corona di Indonesia lebih kecil dari AS. Toh, Indonesia, sebagaimana juga AS, terlambat dan lalai menangani corona ketika pandemi itu telah memasuki kedua negara ini sejak Januari. Kini, kasus positif corona di AS merupakan yang tertinggi di dunia, mencapai satu juta orang dengan angka kematian mencapai lebih dari 100 ribu orang.
Apalagi jumlah tenaga medis dan fasilitas kesehatan di Indonesia merupakan salah satu yang terbelakang di dunia. Jumlah orang yang sudah melaksanakan rapid test juga merupakan yang terendah di dunia. Terlebih pemerintah pernah berbohong sebelumnya bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara besar di Asia yang tidak dimasuki corona.
Nampaknya negara-negara di atas faham betul bahwa pemerintah Indonesia sengaja mengecilkan angka kasus positif covid-19 untuk, selain tidak ingin masyarakat panik, juga menjaga agar ekonomi nasional tidak kolaps. Tapi ini kebijakan yang bodoh karena tidak mempertimbangkan pengetahuan dan akal sehat komunitas internasional maupum publik domestik. Di era globalisasi dan kebebasan informasi ini tidak mungkin pemerintah bisa mengendalikan ilmu pengetahuan dan informasi.
Kalau semakin banyak negara strategis yang mengisolasi Indonesia — seperti AS, Cina, Uni Eropa, dan negara-negara Arab Teluk — maka pemerintah Jokowi akan menghadapi tamparan politik dan ekonomi yang kian keras. Mungkin Cina dan AS tidak akan mengambil kebijakan itu. Cina berkepentingan menjaga kelangsungan hidup pemerintahan Jokowi. Lagi pula, melarang warganya memasuki Indonesia sama artinya dengan memukul kepentingan ekonominya sendiri karena pekerja Cina tak bisa masuk ke Indonesia.
Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump juga merupakan pendukung pemerintahan Jokowi. Barusan Trump mendukung keinginan Jokowi agar 27 perusahaan farmasi AS merelokasi pabriknya dari Cina ke Indonesia. Tetapi politik itu dinamis. Tidak ada jaminan Cina dan AS akan mempertahankan kebijakannya itu kalau pemerintah Indonesia tak mengubah beleidnya terkait corona yang menimbulkan confidance dalam dan luar negeri serta secara meyakinkan menurunkan kurva kasus positif covid-19. Masalahnya, Cina dan AS juga masih repot mengurusi corona di dalam negeri masing-masing.
Jalan keluar pemerintahan Jokowi saat ini adalah, pertama, memperketat kembali PSBB secara konsisten dan kredibel. Kedua memperbaiki koordinasi pejabat negara dengan pemda dan gugus tugas percepatan penanggulangan covid-19 agar kebijakan tidak simpang-siur. Ketiga, pemerintah harus jujur dalam menyampaikan perkembangan kasus positif corona-19. Hal ini seperti memulai dari nol lagi. Dan tentunya tak mudah mengembalikan kepercayaan publik domestik dan komunitas internasional dalam waktu cepat. Tetapi itulah yang harus dikerjakan. Kelalaian sejak awal memang harus dibayar mahal. Kalau pemerintah gagal melakukan ini, penanganan corona akan memakan waktu lebih lama dengan korban sosial dan ekonomi yang makin besar. Tak mengejutkan kalau kemudian menimbulkan turbulensi sosial politik yang sulit dikendalikan negara.
CATATAN KRITIS IDe#50*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 21 Mei 2020