Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syehbukar
Tragedi G30S 1965 masih misteri sampai kini. Narasi rezim Orde Baru selama ini menekankan peran sentral PKI di bawah pimpinan DN Aidit dalam pembantaian secara sadis tujuh jenderal angkatan darat yang dilaksanakan Kolonel Untung.
Kajian para peneliti di Universitas Cornel, AS, dikenal sebagai Cornel Paper, meyakini peristiwa itu merupakan pemberontakan para perwira muda AD yang kecewa pada atasan mereka yang dituduh korup. Dus, dalam hal ini PKI tidak terlibat.
Orang-orang PKI sendiri menganggap insiden itu direkayasa Soeharto, paling tidak Soeharto tahu akan ada tragedi berdarah itu dan mendiamkannya, untuk merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Masih ada versi lain lagi dari insiden yang menelan ratusan ribu orang tewas. Semuanya memiliki argumen masing-masing.
Bagaimanapun, ini adalah luka sejarah nasional yang harus dicarikan solusinya agar bangsa ini dapat berjalan ke depan tanpa beban sejarah. Pada era Orde Baru mustahil masalah ini diselesaikan, bahkan untuk sekadar membicarakannya secara kritis saja tabu. Masyarakat dipaksa percaya pada versi pemerintah.
Tetapi pasca reformasi, isu panas ini dibicarakan secara terbuka oleh berbagai pihak. Orang-orang PKI pun bebas tampil di berbagai forum, termasuk di televisi, untuk menyampaikan peristiwa itu versi mereka. Atas desakan berbagai pihak, terutama sejarawan dan masyarakat sipil, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mulai merambah jalan rekonsiliasi dengan mengakomodir pandangan versi PKI.
Namun, militer dan kaum Muslim, menentang rekonsiliasi di mana negara dan militer harus meminta maaf pada PKI. Posisi tentara dan kaum Muslim didukung juga oleh parpol-parpol berbasis Islam dan Golkar. Bahkan mereka menolak mencabut TAP MPRS No XXV Tahun 1966 yang melarang semua bentuk komunisme di negeri. Maka, usaha-usaha rekonsiliasi PKI dengan militer dan kaum Muslim belum bisa diwujudkan sampai hari ini.
Biar begitu pemerintah Indonesia, terutama rezim Jae, mulai permisif terhadap PKI. Kaos-kaos bergambar palu arit yang dulu merupakan simbol yang terlarang, mulai dipakai generasi muda di ruang publik. Dalam membela diri, rezim mengatakan itu hanyalah trend di kalangan anak muda.
Para keturunanan PKI pun, seperti Ribka Tjiptaning, dengan bangga menulis buku “Saya Bangga Menjadi Anak PKI”. Dan dia pun menjadi anggota DPR dari fraksi PDIP. Bahkan, menurut mantan anggota DPR Djoko Edy Abdurrahman dari Fraksi PAN, jumlah orang PKI di DPR lebih dari seratus orang.
Fenomena ini menimbulkan ketakutan di masyarakat tentang kemungkinan partai komunis muncul lagi di Indonesia. Mereka trauma dengan peristiwa G30S dan peristiwa-peristiwa sebelumnya di mana kiai, tokoh Islam, dan agama Islam jadi sasaran teror PKI. Malah, tak sedikit para kiai NU dibunuh mereka.
Ada alasan mengapa PDIP bersikap lembut terhadap PKI. Pertama, berbagai sumber menyebut, jumlah anggota PKI yang masih hidup dan keturunan mereka saat ini sekitar 15 juta jiwa, jumlah yang tidak sedikit tentunya. Dan suara mereka diberikan kepada calon PDIP dari pilpres sampai pilkada. Sebagai imbalan, mereka menuntut PDIP memperjuangkan aspirasi mereka. Di antaranya, pemerintah minta maaf pada PKI yang secara otomatis akan berdampak pada pencabutan TAP MPRS no XXV Tahun 1966 dan dilegalkannya PKI sebagai partai resmi di negeri ini. Hal ini masih belum dapat dilakukan rezim Jae mengingat masih kuatnya resistensi masyarakat.
Kedua, nampaknya Megawati Soekarnoputri lebih percaya pada ayahnya, Soekarno, yang tak menganggap PKI dalang dari tragedi berdarah itu. Buktinya, Presiden Soekarno menolak desakan tentara agar ia membubarkan PKI. Sikap konsisten Soekarno itulah yang berujung pada kejatuhannya. Sikap Soekarno ini dihormati PKI sampai sekarang. Tak heran, untuk sementara, PDIP mereka percaya dapat diandalkan sebagai penyalur aspirasi mereka.
Ketiga, bisa jadi ada desakan dari rezim komunis Cina terhadap rezim Jae untuk melegalkan partai komunis di Indonesia. Ini kepentingan strategis Cina. Kalau ada partai komunis di sini tentu secara alami ia akan menjadi proksi Cina yang dapat diandalkan. Kebetulan pada masa jayanya, PKI menjalin hubungan akrab dengan rezim yang sama yang memerintah Cina saat ini.
Jangan menganggap sepele dengan komunisme. Ideologi Marxisme-Leninisme memang hanya dipraktekkan oleh dua negara negara saat ini: Korea Utara dan Kuba. Dan keduanya negara miskin. Tidak mungkin mereka mampu membiayai proksi di luar negeri. Apalagi pamor komunisme sudah redup sejak hancurnya Uni Soviet dan negara satelitnya di Eropa Timur.
Tetapi masih ada Vietnam dan Cina khususnya. Kendati mempraktekkan kapitalisme negara, kedua negara masih mengklaim diri sebagai negara komunis. Dan memang sistem politik yang anut sistem komunis. Dengan sendirinya, Cina khususnya, akan mengekspor komunisme yang sudah dimodifikasi ini. Semangat ini tidak didasarkan pada keyakinannya pada ideologi itu tapi lebih pada kepentingannya menciptakan proksi di luar negeri untuk mengalahkan negara demokrasi-kapitalis.
Dan Cina mampu untuk itu. Dengan muncul sebagai negara adidaya kedua setelah AS — dan sedang menuju menjadi negara adidaya tunggal — Cina merobohkan keyakinan yang dipeluk komunitas global selama ini bahwa hanya negara demokrasi yang mampu muncul sebagai negara maju dan makmur. Sistem Cina ini sekarang menjadi perhatian banyak negara yang jenuh dengan demokrasi.
Di Indonesia pun orang mulai kehilangan kepercayaan pada demokrasi yang selalu memunculkan kegaduhan yang melelahkan, sementara kue ekonomi lebih banyak dinikmati kaum borjuis. Di tambah dengan fakta bahwa orang miskin dan rentan miskin di Indonesia — kini akibat wabah covid-19 kelompok rentan miskin telah jatuh miskin — masih lebih dari seratus juta orang, komunisme ala Cina tentu menarik. Cina, hanya dalam waktu tiga dekade mampu membebaskan 400 juta warganya dari jerat kemiskinan.
Sudah begitu, Indonesia adalah negara strategis bagi Cina secara geoekonomi maupun geopolitik. Oleh karena itu, masuk akal kalau kemudian orang menduga Cina mengincar Indonesia untuk dijadikan negara satelitnya. Akan lebih mantap tentunya kalau ada partai seideologi yang akan menjalankan agenda-agendanya di negeri ini. Tentu saja sekarang rezim Jae telah menjadi antek Cina.
Tetapi dengan sistem demokrasi di Indonesia dan masih kuatnya resistensi publik terhadap hegemoni Cina, maka tak ada jaminan rezim di Indonesia yang berganti-berganti akan selalu melayani kepentingan Cina sebagaimana rezim Jae. Biar aman, harus ada partai mitra sejati Cina yang menjamin kelangsungan hegemoni Cina di negeri ini.
Jalan untuk itu hanya akan tersedia kalau PKI dihidupkan kembali. Dan kalau itu terjadi, dengan duit dari Cina, bisa jadi PKI menjadi partai terbesar di negeri ini. Aroma tidak sedap mengenai PKI, rezim Jae, dan Cina inilah yang telah menimbulkan kegusaran di masyarakat belakangan ini.
CATATAN KRITIS IDe#44*
Institute for Democracy Education
Jakarta, 16 Mei 2020