Serpong – Fraksi PKS menilai konten RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang sedang dibahas Badan Legislasi DPR-RI banyak yang kontroversial. Salah satunya soal pengurangan bahkan penghilangan kewenangan Pemerintah Daerah, termasuk perijinan. Padahal soal kewenangan, tugas dan fungsi Pemerintah Daerah sudah diatur secara baik dalam UU No. 23, Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto menilai beberapa pasal dalam RUU Ciptaker ini berpotensi merusak prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan amanat reformasi. Pemerintah Pusat terkesan terlalu mengistimewakan pengusaha dan investor untuk melakukan usaha di berbagai daerah melalui cara mengurangi bahkan menghilangkan peran Pemerintah Daerah.
Mulyanto khawatir jika ketentuan baru itu jadi diberlakukan akan menimbulkan masalah baru di berbagai daerah. Daerah merasa tidak bertanggung jawab, lepas tangan, lalu mandeg semua proses.
“Ini adalah soal serius. Salah satu eksperimen negara pasca reformasi adalah menata dan merumuskan ulang pola hubungan pusat-daerah. Dengan beberapa kali revisi UU terkait Pemerintahan Daerah (UU No. 23 tahun 2014) dan implementasi di lapangan, kita mulai mendapatkan formula yang tepat terkait hubungan pusat-daerah.
Karena itu menjaga capaian ini, serta keseimbangan harmonis hubungan pusat-daerah adalah sebuah langkah penting dan strategis dalam mengelola demokrasi di nusantara ini. Hal ini tidak boleh disepelekan,” tegas anggota Badan Legislasi DPR dari FPKS ini.
Mulyanto melihat ada beberapa aturan dalam RUU Ciptaker yang terkesan terlalu memanjakan pengusaha dan memarjinalkan Pemerintah Daerah. Diantaranya, dihapuskan tupoksi Pemda dalam penyelenggaraan urusan konkuren; hilangnya kewenangan Pemda dalam penyelenggaraan tata ruang daerah; ditariknya IMB ke pusat; ditariknya penyelenggaraan kegiatan minerba dari Pemda ke Pemerintah Pusat, ditariknya kewenangan Pemda terkait pengelolaan kepariwisataan, dikurangi kewenangan Pemda dalam pengelolaan wilayah pesisir, dihilangkan kewenangan dalam pembinaan, pengelolaan data terintegrasi usaha perkebunan.
Kewenangan Pemda juga berkurang dalam sektor transporasi, sumber daya air, jasa konstruksi, perumahan dan kawasan pemukiman, rumah susun. Kewenangan Pemda terkait penyelenggaraan pasar rakyat, pasar swalayan, perkulakan akan dihilangkan.
Selain itu peran Pemda sebagai salah satu penyelenggara kelistrikan dan BUMD usaha penyediaan tenaga listrik dihapuskan.
Sedangkan terkait perizinan, RUU Ciptaker ini, menghapus kewenangan Pemda hampir di semua sektor dalam 11 klaster. RUU Ciptaker.
Tidak ada lagi kewenangan Pemda dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, transportasi, Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), pengelolaan limbah B3; penanaman modal, usaha perkebunan, pertambangan minerba.
“Dalam konteks berdemokrasi, aturan dalam RUU Ciptaker ini berbahaya karena sangat sentralistik. Dan itu bertentangan dengan semangat reformasi yang kita perjuangkan. Pembangunan negeri Nusantara yang luas ini memerlukan peran daerah melalui pendekatan otonomi dan desentralisasi. Bukan malah sebaliknya.
Saya tidak tahu apakah para gubernur, walikota, dan bupati serta asosiasi terkait pemerintahan daerah sudah mendalami masalah ini. Jangan sampai kita set back, bereksperimen lagi untuk mencari keseimbangan baru hubungan pusat-daerah,” tegas Mulyanto.
Oleh sebab itu Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu, Pemerintah menunda pembahasan RUU Ciptaker selama masa darurat pandemi Covid 19 belum selesai.
Menurut Mulyanto, RUU setebal lebih dari 1.000 halaman dan menghapus hampir 100 UU ini harus dibahas secara komprehensif dan melibatkan banyak pihak, karena isinya mengatur banyak hal strategis.
Mulyanto menegaskan RUU ini harus dibahas secara langsung tatap muka, bukan secara virtual menggunakan sarana komunikasi daring yang hanya dapat diikuti kalangan terbatas, agar setiap argumentasi dapat dibahas secara objektif dan mendalam.
“Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, maka kita hanya akan menuai kondisi ketidakmampuan Negara mengayomi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini tentu tidak kita kehendaki,” ujar mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian ini.
[subhan/kontributor]