Oleh : Chazali H. Situmorang
Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS
Dalam kampanye Pilpres tahun lalu, Pak Jokowi sebagai calon Presiden incumbent, salah satu janjinya yang menarik adalah memberikan Kartu Pra Kerja, bagi mereka yang memasuki lapangan pekerjaan, ataupun yang mengalamai PHK, untuk diberikan ketrampilan sebagai up skill memasuki pasaran kerja yang diminati sesuai dengan sklil yang diperoleh.
Rencana tersebut, menurut banyak kalangan adalah suatu program yang bagus, dan sebagai salah satu upaya mengatasi pengangguran bagi mereka yang sudah menyelesaikan pendidikannya, pada level menengah atas dan perguruan tinggi.
Setelah jadi Presiden periode kedua, Jokowi masih ingat janjinya itu. Ditugaskan Menkeu untuk mengalokasikan dananya. Menkeu Sri Mulyani langsung sakit perut, karena dan APBN 2020 seret penerimaan pajak dan non pajak. Belum lagi memikirkan janji-janji lain yang juga harus dipenuhi, dan menambal defisit iuran BPJS Kesehatan.
Presiden Jokowi tidak mau ambil pusing. Itu urusan Menkeu. Harus dianggarkan dalam APBN 2020. Terakhir keluarlah plafon anggaran sebesar Rp. 20 triliun, untuk 5,6 penerima manfaat, dengan mendapatakan uang saku Rp. 2,4 juta kali 5,6 juta, sebesar Rp. 13,44 triliun.
Kemudian ada pelatihan yang diselenggarakan secara on line, dengan paket biaya Rp. 1 juta, perorang, untuk 5,6 juta orang, maka akan digelontorkan uang pelatihan Rp. 5,6 triliun. Itu tidak cukup, sisanya digunakan untuk biaya survei sebanyak 3 kali @ Rp.50 ribu, dikalikan 5,6 juta orang, nilainya sebesar Rp. 840 miliar.
Dari mana sumber dananya. Ternyata karena wabah Covit-19, pemerintah mengelontorkan dana Rp. 450,1 triliun, dengan rincian untuk pos anggaran Perlindungan Sosial, Rp. 110 triliun, sebesar Rp. 20 triliun untuk Kartu Pra Kerja.
Yang paling sibuk mengurus proyek Kartu Pra Kerja ini, adalah Kemenko Perekonomian, bukan Kementerian teknis sesuai dengan tugas dan fungsiya yaitu Kemenaker. Keberadaan PMO nya, di Kemenko Perekonomian. Tidak heran jika salah satu staf khusus milenial terlibat “bancaan” program Kartu Pra Kerja dan saat ini sudah mengundurkan diri, tidak tahan di bully terus oleh netizen.
Persoalan pelatihan on line, menjadi sorotan publik, di usung oleh MAKI lapor ke KPK, juga meledak di Komisi III, saat Raker dengan Pimpinan KPK. Salah satu anggota DPR dari fraksi PDIP dengan ber api-api, meminta Pimpinan KPK untuk menyelidiki potensi terjadi korupsi dalam proses pelatihan on line yang maaf dinilai “abal-abal” menggunakan uang sangat besar Rp. 5,6 triliun diselenggarakan oleh delapan perusahaan platform, yang beroperasi di Indonesia,
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Senin (4/5). Dia datang dengan membawa sejumlah aduan. Pertama dia menyebut bahwa penunjukan delapan mitra program Kartu Pra Kerja berpotensi melanggar aturan persaingan usaha. Penunjukan ini tak sesuai ketentuan kerja sama dalam pengadaan barang dan jasa.
Delapan mitra tersebut antara lain, Tokopedia, Skill Academy by Ruangguru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Sisnaker. Pada tahap awal, Skill Academy by Ruangguru menjadi platform yang paling banyak dipilih oleh peserta program Kartu Pra Kerja.
Dia mempermasalahkan penunjukan mitra program Kartu Pra Kerja yang tidak melalui mekanisme lelang. “Pemerintah juga tidak mengumumkan syarat-syarat untuk menjadi mitra secara terbuka,” katanya.
KPK diminta menyelidiki proses penunjukan delapan mitra Kartu Pra Kerja. Sebab, sudah ada dana pelatihan secara on line yang dikucurkan pada gelombang I dan gelombang II.
“Artinya, jika ada dugaan korupsi, misalnya dugaan mark up, maka KPK sudah bisa memulai penyelidikan atau setidak-tidaknya memulai pengumpulan bahan dan keterangan,” katanya.
Boyamin juga menyinggung harga yang harus dibayar peserta pelatihan untuk mengikuti setiap kelas. Menurutnya, harga pelatihan dengan kisaran Rp200 ribu sampai Rp1 juta untuk mengikuti kelas on line terbilang sangat mahal. “Diduga terlalu mahal jika ongkos produksi materi bahan pelatihan itu dibandingkan dengan gaji guru atau dosen,” ujarnya.
Terkait dugaan mark up, Boyamin merujuk pendapat peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda yang menyebut delapan platform yang bekerja sama dengan pemerintah dalam menyediakan pelatihan Kartu Pra Kerja berpotensi meraup untung sebesar Rp3,7 triliun.
Bagaimana menurut ICW. Wanna Alamsyah peneliti ICW, menilai adanya potensi korupsi program Kartu Pra Kerja. Hal itu bisa dilihat dari penunjukan delapan platform yang menjadi mitra pemerintah dalam program Kartu Pra Kerja. Karena tidak melalui mekanisme atau prosedur terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Sama analisisnya dengan INDEF.
ICW berpendapat, proses penunjukan platform mitra prakerja menggunakan mekanisme Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Sayangnya, aturan tersebut justru dilangkahi.
Dikatakannya, potensi korupsi di sektor perencanaan seperti itu sudah kerap terjadi. Oleh karenanya, ICW mendesak pemerintah mengevaluasi pelaksanaan program Kartu Pra Kerja tersebut.
“Misalnya, bagaimana kemudian proses legislasi itu dilakukan secara tertib. Ini yang menjadi persoalan kita. Kalau kita berkaca dari sejumlah aturan, ini kan memang diberi kelonggaran karena adanya pandemi, jadi seluruh kementrian atau pemda itu diberikan fleksibilitas utuk menggelontorkan sejumlah uang,” tuturnya.
MAKI dan ICW sudah bergerak, DPR Komisi III sudah memerintahkan KPK untuk melakukan penyelidikan. Dan KPK diharapkan juga bergerak, melakukan investigasi dengan memanggil pihak-pihak terkait. Tentu bekerjasama dengan Kepolisian dan juga Kejaksaaan, karena ini bukan persoalan ikan teri, tetapi sudah ikan kakap. Nyali Pimpinan KPK yang baru diuji kali ini. Karena melibatkan oknum-oknum pejabat tinggi negara, mungkin juga oknum pimpinan partai tertentu.
Kejayaan KPK, memenjarakan banyak menteri, Gubernur, Ketua DPR, Ketua MK, Ketua DPD, Ketua Partai, merupakan prestasi luar biasa pada masa periode kepemimpinan KPK sebelumnya.
Banyak hal yang bisa dipertanyakan dan diselidiki oleh KPK. Antara lain, dasar pertimbangan Kemenko Perekonomian sebagai pengelola program Kartu Pra Kerja, karena tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pengendali, koordinasi dan sinkronisasi. Kenapa tidak langsung ditangani kementerian teknisnya yaitu Kemenaker, padahal di Kemenaker ada tugas dan fungsi yang berkaitan langsung dengan Pra Kerja yaitu Direktorat Jenderal Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker.
Pembentukan PMO dibawah langsung Menko Perekonomian perlu juga didalami wewenang dan tanggung jawab dalam mengelola dana APBN yang sangat besar tersebut, diluar organ organik Kementerian teknis terkait.
Berikutnya apa dasar pertimbangan tidak dilakukannya lelang, apakah LKPP menyetujui proses penunjukan langsung tersebut. Apakah BPKP juga sudah dimintakan pendapatnya atas penunjukan langusng itu. Bagaimana dengan Kejaksaan Agung, apakah pihak PMO nya sudah berkonsultasi dengan Jaksa Agung.
Dalam menentukan satuan biaya khusus (SBK) untuk proses pelatihan, apakah sudah meminta perhitungannya dari Bappenas. Dalam menerbitkan sertifikasi, apakah sudah melibatkan BNSP.
Apakah pihak PMO Kartu Pra Kerja juga sudah memuat OE (Owner Estimate), terhadap berbagai substansi dan proses pelatihan yang diselenggarakan. Apakah itu semua diserahkan kepada kedelapan platform itu?.
Apakah proses pengadaannya dan persyaratannya diumumkan terbuka. Apakah aksesnya mudah untuk mendapatkan informasi bagi mereka yang ingin ikut proses pengadaan. Bagaimana prinsip GCG ( Good Corporate Governance) sudah dilaksanakan?. Apakah ada potensi maladministration, dan “abuse of power”, sehingga potensi merugikan uang negara triliun rupiah.
Bayangkan jika kita merujuk yang disinyalir oleh peneliti INDEF , delapan platform itu akan meraup untung Rp. 3,7 triliun, itu berarti 66% dari total dana yang disediakan ( 5,6 triliun). Mudah sekali mengambil uang negara ditengah kesusahan pemerintah untuk menambal defisit APBN.
Bagi Presiden Jokowi, kasus ini tentu menjadi pukulan berat dalam menyelenggarakan pemerintahan yang sedang menghadapi pandemi covid-19. Mulai dari persoalan menahan masyarakat untuk tidak mudik. Cegat sana, cegat sini, masuk kejalan tikus pun, ketangkap Polisi. Para menteri yang sudah mulai bicara soal relaksasi PSBB dengan merencanakan membuka Pusat Hiburan Ancol, supaya rakyat tidak stress di rumah terus.
Tetapi Masjid masih dilarang melaksanakan Sholat Jumat, dan Soal Tarawih, dan Soal Ied. Padahal dengan sholat berjamaah dengan tertib mengikuti protokol kesehatan, juga sangat besar potensi untuk menghilangkan stress. Karena rakyat beramai-ramai bermohon kepada Allah di rumahNya yang suci.
Niat baik Presiden Jokowi untuk memenuhi janjinya memberikan Kartu Pra Kerja, ternyata membuahkan yang tidak diharapkan dengan “musibah” yang terjadi dalam pelaksanaannya. Ada persoalan di sekeliling Presiden yang diduga “membelokkan” niat baik Presiden, untuk kepentingan korporasi, kelompok, bisnis, politik bahkan juga untuk menggalang kekuasaan agar tetap eksis.
Kita berharap KPK bekerja secara profesional, tidak perlu ber ‘heboh” ria. Bergerak dalam senyap. Supaya rakyat dapat terfokus menghadapi peperangan melawan Covid-19, dengan senjata PSBB nya. Presiden Jokowi memantau terus-menerus kerja KPK ini. Dan pada waktunnya DPR Komisi III akan memanggil kembali Pimpinan KPK, atas progress tindak lanjut yang sudah dilakukan.
Mari kita tunggu di rumah saja perkembangannya, sambil baca Qur’an, kurangi nonton TV supaya jangan stress dengan berita covit-19, dan Sholat 5 waktu berjemaah, sambil memperbaiki bacaan sholat kita, menambah hafalan ayat-ayat pendek, supaya mantap jadi Imam Sholat. Amiin.
Cibubur, 8 Mei 2020