Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Membaca kisah Mbah Jum yang ditulis Irena Radjiman dari pelosok kampung di Yogya yang dilansir eramuslim.com, tanpa disadari sidang pembaca diajak dalam sebuah perenungan yang mendalam, terutama dalam suasana kita menghadapi pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Pertemuan Irena dengan Mbah Jum wanita sepuh penjual tempe di pasar lima tahun lalu yang dituangkan dalam tulisannya dengan apik dan runtut. Sekaligus Irena mengajak kita untuk mau belajar tentang cara bersedekah level tinggi ala Mbah Jum
Irena mengisahkan, bahwa Mbah Jum ini seorang wanita penyandang tuna netra sejak lahir yang berprofesi sebagai pedagang tempe di pasar. Cucu pertama beliau yang sekaligus menjadi kuli panggul di pasar yang sama sangat setia antar-jemput beliau ke pasar untuk berjualan tempe.
Dikisahkan, sesampainya di pasar beliau langsung menggelar tempe jualannya. Tidak lebih dari dua jam dagangan tempe Mbah Jum sudah habis ludes. Sebelum pulang Mbah Jum selalu meminta cucunya menghitung uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut angka lebih dari Rp.50 ribu rupiah, maka Mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid untuk memasukkan uang lebih jualannya itu ke kotak amal.
Memperhatikan kondisi demikian tergelitik hati Irena untuk bertanya kepada cucu Mbah Jum, kenapa begitu? Jawab si cucu, “karena kata simbah modal simbah bikin tempe hanya Rp. 20 ribu, harusnya simbah paling banyak dapetnya yaa Rp. 50 ribu. Kalau sampai lebih berarti itu punyanya gusti Allah, harus dikembalikan lagi. Lha rumahnya gusti Allah khan di masjid mbak, makanya kalau dapet lebih dari Rp. 50 ribu, saya diminta simbah masukkin uang lebihnya ke masjid”.
Irena merasa lebih penasaran lalu bertanya lagi, “Lho, kalo sampai lebih dari Rp. 50 ribu, itu khan hak simbah, khan artinya simbah saat itu bawa tempe lebih banyak to?” Jawab si cucu, “Nggak mbak. Simbah itu tiap hari bawa tempenya ga berubah-ubah jumlahnya sama”. Irena dibuat lagi lebih penasaran lalu bertanya, kenapa “hasil” penjualan simbah bisa berbeda-beda?” Jawab si cucu, “Begini mbak, kalau ada yang beli tempe sama simbah, karena simbah tidak bisa melihat, simbah selalu bilang, ambil sendiri kembaliannya. Tapi mereka para pembeli itu selalu bilang, uangnya pas kok mbah, ga ada kembalian. Padahal banyak dari mereka yang beli tempe Rp.5 ribu, ngasih uang Rp. 20 ribu. Ada yang beli tempe Rp. 10 ribu ngasih uang Rp. 50 ribu. Dan mereka semua selalu bilang uangnya pas, ga ada kembalian. Pernah suatu hari simbah dapat uang Rp. 350 ribu. Yaaa Rp. 300 ribu nya saya taruh di kotak amal masjid.”
Mendengar penjelesan si cucu yang sedemikian lugunya, Irena melongo terdiam seribu bahasa, sambil Irena bergumam, logikaku yang hidup pada era kemoderenan jahiliyah ini memang belum sampai.
Irena kisahkan, selain berjualan tempe, Mbah Jum juga seorang tukang pijat bayi, bahkan bukan hanya untuk pijat bayi dan anak-anak, Mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa lewat pijitannya. Mbah Jum ini tidak pernah memberikan tarif untuk jasanya. Bahkan bila ada yang memberikan imbalan untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak amal masjid. Hal ini membuat Irena lebih penasaran lagi, lalu memberanikan untuk kembali bertanya, “kenapa harus semuanya dimasukkan ke kotak amal?”
Sambil tersenyum Mbah Jum memberi penjelasan dengan logat jawanya,
“Kulo niki sakjane mboten pinter mijet. Nek wonten sing seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku sanes kulo seng ndamel seger waras, niku kersane gusti Allah. Lha dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh gusti Allah.” (Saya itu sebenarnya nggak pinter mijit. Kalau ada yang sembuh karena saya pijit, itu bukan karena saya, tapi karena gusti Allah. Jadi bayarnya bukan sama saya, tapi sama gusti Allah).
Jawaban dari Mbah Jum lagi-lagi membuat Irena terdiam, sambil menatap wajah Mbah Jum yang terlihat keriputnya bersih. Irena dalam hati bergumam, ternyata manusia yang datang dari peradaban kapitalis akan terkaget-kaget saat dihadapkan oleh peradaban sedekah level tinggi ala Mbah Jum
Dalam tulisannya, Irena menambahkan tentang status Mbah Jum. Ia tinggal bersama lima orang cucunya. Cucu kandung Mbah Jum hanya satu, yaitu yang paling besar usia 20 tahun (laki-laki), yang selalu mengantar dan menemani Mbah Jum berjualan tempe di pasar. Empat orang cucunya yang lain itu adalah anak-anak yatim piatu dari tetangganya yang dulu rumahnya kebakaran.
Disebutkan Irena dalam tulisannya, bahwa dikarenakan kondisinya yang tuna netra sejak lahir, membuat Mbah Jum tidak bisa membaca dan menulis, namun ternyata ia telah hafal 30 juz Al-Quran. Subhanallah…
Sebelum berpamitan untuk pulang, Irena sempat mencatat kata-kata terakhir dari Mbah Jum yang mengatakan, “Kulo niki tiang kampong. Mboten saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane gusti Allah kulo diparingi berkah, saget apal Quran. Gusti Allah niku bener-bener adil kaleh kulo.” (saya ini orang kampong. Tidak bisa melihat apa pun dari bayi. Alhamdulillah kehendak gusti Allah, saya diberi keberkahan, bisa hafal Al-Quran. Gusti Allah itu benar-benar adil sama saya)