Jokowi Berpotensi Melanggar Konstitusi, Turun atau Diturunkan!

Oleh : Tarmidzi Yusuf

Penulis adalah Pegiat Kedaulatan Rakyat

ADA dua indikator potensi pelanggaran konstitusi oleh Jokowi:

Pertama

Melanggar UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sampai hari ini UU No 29 tahun 2007 masih berlaku. Pembicaraan tentang pindah ibu kota negara yang berlokasi di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur tentu saja melanggar UU No 29/2007.

Tidak ada payung hukum jika Jokowi memaksa dibentuknya Badan Otorita Ibu Kota Negara yang sempat ramai dibicarakan dengan Ahok sebagai kandidat kuat Kepala Badan Otorita.

Penunjukan Ahok sebagai upaya memberi panggung politik bagi Ahok untuk persiapan Pilpres 2024 sebagai calon presiden. Pemanasan sudah dimulai sejak Ahok penista agama ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina.

Penunjukkan Ahok sebagai Kepala Badan Otorita IKN untuk mengimbangi popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan yang dinilai banyak pihak sukses memimpin Ibu Kota NKRI Jakarta sebagai ibu kota yang sah menurut UU. Apalagi Anies Baswedan telah menunjukkan kelasnya sebagai the next president dalam penanganan covid-19 di DKI Jakarta.

Isu penunjukan Ahok sebagai Kepala Badan Otorita IKN meredup setelah merebaknya pandemi covid-19. Pindah ibu kota baru lebih kental nuansa politiknya ketimbang kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Kedua

Perpu No 1 tahun 2020 yang lebih dikenal Perppu Corona. Judul Perppu atau UU terpanjang dalam sejarah UU di Indonesia kata Refly Harun pakar hukum tata negara.

Judulnya saja pabaliut. Perppu yang melegalkan perampokan uang negara di tengah musibah corona. Mengambil kesempatan dalam kesempatan. Misalnya, dugaan anggaran kartu prakerja, perampokan Jiwasraya, Asabri dan BUMN lainnya yang diduga jadi bancakan orang-orang istana.

Tidak ada alasan yang kuat dikeluarkannya Perppu No 1/2020. Belum ada kegentingan yang memaksa sebagai syarat dikeluarkannya Perppu.

Apalagi pasal 12 ayat 2 Perppu No 1/2020 berpotensi melanggar Pasal 23 dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Menurut Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan, Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Violla Reininda seperti dikutip detikcom (15/4/2020). Dalam Perppu No 1/2020 Pasal 12 ayat (2) yang memberikan kewenangan perubahan postur dan/atau rincian APBN diatur dalam Peraturan Presiden, bukan melalui UU APBN-P sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Pasal 27 Perppu No 1/2020 melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

Turun atau diturunkan?

Berdasarkan dua isu utama di atas. Potensi pelanggaran konstitusi oleh Jokowi dalam kondisi normal sudah cukup alasan bagi DPR untuk menggunakan hak interpelasi terhadap Jokowi. Selanjutnya sesuai mekanisme UU, DPR dengan persetujuan MK menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR pemberhentian Jokowi karena telah melanggar UU dan UUD 1945.

Bagaimana peta politik di DPR saat ini? Secara terbuka baru ada 2 Fraksi DPR yaitu PKS dan Demokrat yang sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

Fraksi lainya wait and see. Menunggu perkembangan politik. Terutama dalam penanganan wabah corona oleh Jokowi. Bila Jokowi berhasil, mungkin relatif aman kursi presiden tidak bakal tergoyang.

Tentu saja dengan syarat, tidak terjadi gonjang ganjing ekonomi yang bisa menggoyang posisi Jokowi. Sebagaimana kita ketahui sebelum pandemi covid-19 ekonomi Indonesia telah mengalami guncangan yang luar biasa.

Sebaliknya, bila gagal misalnya, terjadi kecelakaan politik seperti gejolak sosial dan krisis ekonomi. Saya yakin fraksi lain akan cenderung mendesak Jokowi untuk mundur daripada menggunakan hak DPR yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama.

Posisi pemerintahan Jokowi bagai buah simalakama. Serba salah. Maju salah. Mundur salah.

Buktinya, sudah kita saksikan hari-hari ini. Apapun yang dilakukan Jokowi jadi cibiran rakyat. Sebut saja soal masuknya 500 TKA China yang kemarin ditolak Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan DPRD Sulawesi Tenggara. (29/4/20). Orang pribumi dibatasi ruang geraknya sementara TKA China bebas masuk Indonesia yang rentan membawa virus corona. Inkonsistensi dalam penanganan covid-19.

Selain itu Luhut Panjaitan resah dengan rencana kepulangan TKI dari luar negeri. Standar ganda pemerintahan Jokowi. Ditengah musibah wabah corona tak henti-henti impor TKA China ke Indonesia. WNA China dapat karpet merah dari Jokowi dan Luhut Panjaitan.

Belum lagi soal bagi-bagi sembako stempel presiden padahal dananya dari negara, BLT, kartu prakerja, dll. Inilah sesungguhnya beberapa persoalan memicu timbulnya gejolak sosial.

Suasana hari ini bagai suasana tahun 1960 hingga 1965. Bedanya, sekarang TKA China banjir ke Indonesia. Rumornya, TKA China berperawakan militer. Kita tidak mengetahui apa maksud terselubung dibalik banyaknya TKA China masuk Indonesia.

Apakah ada hubungannya sebagai antisipasi pihak tertentu bila meletus gejolak politik seperti tahun 1965?. Mereka tidak mau kepentingan RRC di Indonesia terganggu seperti poros Jakarta – Beijing yang pernah dibangun sebelum 1965.

Dugaan adanya gejolak politik baik sebagai imbas dari gejolak sosial maupun krisis ekonomi. Sepertinya pihak tertentu telah pasang kuda-kuda agar poros Jakarta – Beijing tidak bernasib sama seperti tahun 1965.

Jokowi hanya kuat oleh media dan orang-orang terdekat Jokowi yang punya fulus dan bisa mengontrol tentara dan polisi. Pada saatnya nanti, tentara dan polisi akan balik badan. Disinilah kekhawatiran kita dengan hadirnya TKA China.

Jokowi dan Luhut Panjaitan sebentar lagi akan merasakan itu, gejolak sosial yang tak dapat dibendung lagi yang berujung gejolak politik yang berdarah-darah.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News