Memasuki pekan kedua awal tahun, tepatnya 8 Januari 2020, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa kejutan. Tim komisi antirasuah mengamankan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan lewat operasi tangkap tangan (OTT).
Ketika itu, KPK menerima informasi adanya transaksi dugaan permintaan dari Wahyu kepada orang kepercayaannya, Agustina Tio Fridelina. Tio merupakan bekas anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Tim langsung bergerak. Sekitar pukul 12.55 WIB, tim KPK menangkap Wahyu dan asistennya, Rahmat Tonidaya, di Bandara Soekarno-Hatta. Wahyu hendak pergi ke Bangka Belitung untuk mengikuti kegiatan Pilkada Serentak 2020.
Kini, kasus Wahyu yang diduga terkait praktik suap dalam pengurusan pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024, yang juga menjerat kader PDI-P Harun Masiku sebagai tersangka, masih dalam proses persidangan.
Ini menjadi OTT kedua KPK di bawah kendali Firli Bahuri, sejak dilantik Presiden Joko Widodo 20 Desember lalu. Yang pertama, menyasar Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Durasinya pun berdekatan. OTT di Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi 7 Januari.
Kasus yang menjerat Saiful Ilah sebagai tersangka diduga terkait suap proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo.
Namun, setelah Wahyu, pisau komisi antirasuah tak lagi terlihat ketajamannya. Setelah empat bulan kepemimpinan Firli, kinerja KPK lebih banyak diwarnai kontroversi, alih-alih melakukan operasi tangkap tangan.
Dalam catatan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, penindakan komisi antirasuah selama periode kepimpinan Firli justru menurun.
Jika melihat periode 2016 hingga 2019, misalnya, KPK berhasil menggelar operasi tangkap tangan setidaknya 87, dengan total tersangka mencapai 327. Namun, di era Firli, baru dua kali OTT.
“Dua perkara tersebut bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, tapi surat perintah penyidikannya (sprindik) sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs,” kata Kurnia ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (22/4).
Setelah dua kali OTT digelar, kinerja komisi antirasuah justru menuai sorotan. Musababnya, belum mampunya KPK menangkap dua buron. Pertama, adalah Harun Masiku. Kedua, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi terkait kasus penanganan perkara di MA. Keduanya telah berstatus daftar pencarian orang (DPO).
Kurnia mengkritik insiden tersebut. Selama terbentuk, komisi antirasuah terkenal cepat menangkap atau menemukan buron. Ia mencontohkan mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Durasinya, menurut Kurnia, sekadar 77 hari. Nazaruddin ditangkap di Kolombia.
Untuk Harun, misalnya, status DPO disematkan KPK sedari 27 Januari. Foto Harun juga sudah dipasang di laman resmi komisi antirasuah. Namun, meski sejumlah pencarian telah dilakukan, seperti menyasar Sulawesi hingga Sumatera, jejak Harun belum ditemukan.
Jelang medio Februari, tepatnya 13 Februari, giliran Nurhadi yang disematkan status DPO. Status ini diberikan setelah Nurhadi dua kali mangkir pemeriksaan.
Bukan hanya soal lamanya menangkap buronan, menurut Kurnia, KPK di era Firli juga belum transparan dalam menangani perkara. KPK dianggap menolak menjabarkan kronologi secara jelas terkait kejadian penyekapan penyidik KPK di PTIK, ketika mengejar Harun Masiku.
ICW juga curiga KPK memangkas alur pengusutan dalam kasus Wahyu. Tanpa Harun, KPK tetap meningkatkan status Wahyu menjadi terdakwa, termasuk terus menggelar persidangan.
“Metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara, sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku diduga merupakan tindak pidana suap,” ujarnya.
Komisioner KPK periode 2007-2011 Mochammad Jasin juga menyinggung empat jabatan struktural baru di internal komisi antirasuah. Jasin menilai tidak transparan.
“”Saya lihat di periode kelima ini tak ada Indonesia Memanggil. Jadi tidak terbuka seperti sebelumnya,” jelasnya. Indonesia Memanggil merupakan program rekrutmen KPK untuk mengisi sejumlah jabatan internal.
Lazimnya, posisi struktural dihunikan beragam kultur, tak didominasi satu institusi.
“Tujuan lahir dan berdirinya KPK harus berbeda integritasnya dibanding penegak hukum lain,” kata Jasin mengingatkan. Karena itu, ia melanjutkan, “kami ketika KPK harus membuat sistem hukum beda, jangan sampai tak ada nilai tambah.”
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, khawatir keterpilihan empat jabatan struktural baru sarat konflik kepentingan. Itu karena tiga di antaranya berasal dari kepolisian, seperti mantan Wakapolda DI Yogyakarta Brigjen Karyoto sebagai Deputi Penindakan.
Ada juga Direktur Penyelidikan KPK yang dijabat Endar Priartono, sebelumnya menjabat Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Direktur Penyidikan KPK juga dihunikan perwira kepolisian, yakni Panca Putra.
Dalam prosedur operasi standar perekrutan pegawai KPK, Bivitri mengingatkan, salah satu syaratnya adalah keterbukaan.
Komisioner KPK periode 2011-2015 Bambang Widjojanto justru mempertanyakan peran Dewan Pengawas (Dewas) dalam mengawasi kinerja komisi antirasuah, terutama terkait pelanggaran asas keterbukaan dalam proses pemilihan jabatan. “Dewas diisi oleh orang terbaik. Mereka sekarang ke mana? Mereka masih ada atau sudah hilang?” ujarnya.
Merespons polemik, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri memastikan lembaganya masih terus bekerja. Menurut Ali, era Firli Bahuri lebih banyak menggunakan instrumen penindakan lain selain OTT.