Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Permasalahan utama dan pelik dalam ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain tak selarasnya Undang-Undang dengan UUD 1945, termasuk dibidang ekonomi terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan konstitusi ekonomi adalah konflik konstitusi (constitutional conflict). Alih-alih ada ruang multitafsir dan konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pemegang mandat kementerian sektoral yang begitu dominan sehingga apapun kebijakan sangat mungkin diintervensi oleh kekuasaan.
Hal ini bisa dicermati dalam berbagai produk UU dan peraturan sektor ekonomi, industri dan keuangan yang saat ini berlaku, banyak pasal.dan ayat yang dapat ditafsirkan sesuka hati. Sebagai contoh adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU sektor energi seperti UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Penguasaan Sektor Hulu
Walaupun Pasal 33 UUD 1945 menyatakan dengan tegas, bahwa Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, tapi penguasaan itu tak dijabarkan secara terinci, jelas dan tegas dalam setiap produk UU sektor ekonomi.
Dalam UU Migas dan Minerba yang telah berjalan masing-masing selama 18 Tahun dan 10 Tahun, namun upaya untuk melakukan revisi tak terlalu diperjuangkan secara sungguh-sungguh oleh DPR dan Pemerintah. Pasal-pasal penguasaan sektor hulu produksi minyak dan gas bumi serta mineral dan batu bara faktanya dikuasai oleh korporasi swasta dengan kontrak karya dan hak konsesi yang diberikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Peraturan Menterinya.
Dampak dari multitafsirnya UU migas dan minerba ini, mempersulit BUMN di bidang energi untuk melakukan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) yang dimandatkan oleh UU. Sektor hulu yang berkaitan dengan bahan mentah (raw material) sebagai pembentuk Harga Pokok Produksi dan Penjualan BUMN energi dikuasai oleh korporasi swasta, sehingga jika terjadi kenaikan harga di hulu, akan menjadi beban bagi BUMN jika Kementerian ESDM juga tak mengizinkan melakukan penyesuaian harga produk di hilir yang dijual ke konsumen.
Namun demikian, kebijakan ini akan wajar (fair) dan adil apabila Pemerintah memberikan alokasi subsidi di APBN dalam menunjang tugas BUMN untuk menjalankan kebijakan PSO yang dibebankan oleh pemerintah tersebut.
*Jaringan Distribusi*
Disamping penguasaan hulu yang tidak berada secara otoritatif pada BUMN, maka dalam jaringan distribusi pun terdapat permasalahan dalam kebijakan Kementerian ESDM. Sebagai contoh,
Peraturan Menteri ESDM No 13 Tahun 2018 Tentang Kegiatan Penyaluran BBM, BBG, LPG yang berdampak pada harga-harga yang dijual oleh para agen bbm industri dan yang beroperasi di kelautan (marine industry), Pertamina dan Patra Niaga terancam tak boleh melakukan penjualan langsung BBM nya ke industri kelautan sebagai konsumen akhirnya. Artinya ruang multitafsir UU Migas berpotensi membuat Permen mengkebiri eksistensi Pertamina sebagai BUMN sehingga pasarnya akan diambil oleh badan usaha niaga migas swasta karena yang diizinkan oleh Permen ESDM menjual langsung ke pengguna, yaitu hanya badan usaha niaga migas saja sementara agen bukanlah badan usaha niaga migas (Badan Usaha Pemegang izin Niaga Umum/BU PIUNU)
Sedangkan jika yang dijual adalah BBM bersubsidi, maka dapat dipidana dengan Pasal 55 Undang Undang (UU) 22 tahun 2001: Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga Bahan bakar minyak yang bersubsidi dari Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60 Milyar. Bagaimana konflik UU dan Permen ESDM ini tidak diperbaiki dan dibiarkan menjadi ruang transaksi untuk kepentingan sekelompok orang pengusaha dan pemegang mandat kekuasaan yang berjangka pendek, tapi mengorbankan penguasaan negara di sektor strategis dalam jangka panjang?