Oleh: Sumanto Al Qurtuby:
Dosen antropologi di King Fahd Petroleum University, Arab Saudi
Jokowi sudah mengumumkan nama-nama kabinet jilid 2-nya. Saya perhatikan barisan kabinet kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren.
Ida Fauziyah (Menaker) dan Abdul Halim Iskandar (PDT) dianggap sebagai “representasi” Cak Imin (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud MD sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”.
Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal Fachrul Razi yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar “meme” di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”.
Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Lalu, mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”.
Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU-lah yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU-lah juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang melakukan “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya.
Kenapa NU? Karena NU-lah yang memiliki masa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca kitab kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi.
Semoga NU tidak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meskipun sepertinya hanya dijadikan sebagai pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” (menggapai kekuasaan) dan “pion” (melawan “Islamis militan”) saja. Bahkan dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini.
Semoga NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. Saya gak bisa membayangkan kalau kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal.
PS: sampai TS ini ditulis, saya perhatikan WAG-WAG para elit, kader, sarjana, dan aktivis NU masih diam, belum merespons tentang susunan kabinet ini (mungkin mereka lagi ngopi atau udud??.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia