Mahasiswa yang melakukan demonstrasi telah membuat gaduh bangsa karena tuntutannya seperti menunda RKUHP sudah dipenuhi Presiden Jokowi.
“Alasan penundaan adalah merespon permintaan masyarakat luas atas pasal-pasal yang kontroversial,” kata Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, Selasa (24/9/2019) dikutip dari genial.id.
Kata Eva Sundari, aksi demo tidak perlu dilanjutkan karena Presiden Jokowi sudah memehuhi tuntutan kecuali memang ingin membuat kegaduhan yang rawan menjadi tunggangan penumpang gelap yang menginginkan destabilisasi.
Eva Sundari mengatakan tuntutan demonstran mahasiswa sudah terlaksana ketika Presiden pada Hari Jum’at (20/9) mengumumkan penundaan pengesahan RUU tersebut. Dan hal ini juga disambut positif oleh partai-partai koalisi dan bahkan Gerindra juga mendukung.
Eva mengatakan untuk tuntutan kedua soal perbaikian UU KPK, hal ini sudah di luar kontrol DPR dan Pemerintah, sebab sudah disahkan pada tanggal 17/9/2019. Menurutnya satu-satunya peluang adalah bila mahasiswa meminta pembatalan ke MK. “Permintaan untuk Perppu tidak mungkin dilaksanakan mengingat tidak ada alasan darurat. Jadi saat ini bola justru di tangan mahasiswa sendiri, bukan DPR dan Presiden,” ujarnya.
Lebih lanjut Ketua Kaukus Pancasila menjelaskan tuntutan ketiga, berupa penangkapan terhadap pelaku kerusakan alam di beberapa daerah. Menurutnya tuntutan yang disampaikan kurang spesifik. Namun, jika yang dimaksud adalah kebakaran hutan maka saat ini penegakkan hukum sedang berjalan.
“Sudah ratusan pelaku perorangan dan kelompok pembakaran hutan ditangkap (ada yang sudah P21) dan puluhan perusahaan dalam dan luar negeri dibekukan ijin usahanya. Jadi sebaiknya para mahasiswa mengawasi penegak hukum dalam bekerja, bukan justru demo di DPR maupun di tempat yang tidak terkait,” jelasnya.
Terhadap tuntutan keempat, terkait UU Ketenagakerjaan ini menurut Eva membingungkan, sebab DPR saat ini tidak ada bahasan UU tersebut.Dia menilai tampaknya ada salah paham di kalangan mahasiswa soal isu ketenagakerjaan dan sasaran demo.Menurutnya tuntutan keempat yang paling masuk akal yaitu yang terkait desakan Pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kejahatan Seksual).
“Pembahasan mandeg, akibat pimpinan panja dan beberapa parpol tidak mengagendakan pembahasan RUU ini meski sudah 3 tahun di Prolegnas. Para penolak RUU ini pebih percaya kepada hoax2 (RUU Pro Sex Bebas, Pro LGBT dan adopsi dari Perancis, ideologi Individualisme Liberal dll) daripada membela korban KS. Dalih yang diajukan pimpinan adalah tidak cukup waktu, sementara panja RUU Siber yang baru masuk minggu lalu sedang kerja keras membahas DIM2nya di minggu ini,” jelasnya.
“Jadi untuk mendukung pengesahan RUU PKS ini, demo mahasiswa seharusnya ditujukan ke MUI, FPI, Alila beserta ormas-ormas Islam lain yang tidak membaca DIM2 di RUU PKS yang disusun Komnas Perempuan untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada perempuan dan anak-anak korban kejahatan/kekerasan seksual,” imbuhnya
Tuntutan kelima, memajukan demokratisasi dan stop menangkap aktivis menurut Eva juga kurang jelas obyeknya, tapi seharusnya sasaran juga ke penegak hukum yang bekerja independen dan imparsial.
“Sebaiknya jika meminta perhatian dan pengawasan Komisi 3 DPR harus membawa data yang spesifik misalnya kasus apa dan dimana sehingga bisa ditindaklanjuti oleh DPR,” ujarnya.
Berdasar hal di atas, dia menghimbau kepada para mahasiswa untuk tidak melanjutkan demo, apalagi menduduki Gedung MPR karena tuntutan telah dipenuhi DPR dan Pemerintah. Maka itu dia meminta mahasiswa untuk kembali ke peran sejarah sebagai pembawa perubahan kearah kemajuan bangsa berbakal daya kritis (berbasis data dan fakta) serta sikap yang militan membela kebenaran.
“Waspada potensi diperalat untuk tujuan politik mencari kekuasaan secara inkonstitusional,” demikian Eva.