BJ. Habibie: “Biarkan Itu Wartawan Bakrie”

M. Nigara
Wartawan Senior

“BERAPA naiknya?” begitu reaksi spontan BJ. Habibie, Presiden Indonesia ke-3, saat merespon keluhan saya dalam acara dialog terbuka dengan PWI, di Istana Negara, 9 Ferbruari 1999. Seperti Presiden Soeharto setiap Hari Pers Nasional, selalu menjamu
para pengurus PWI. Bedanya di era Pak Harto tak ada dialog terbuka dan disiarkan langsung oleh tv swasta.

“Tinggi sekali Pak,” jawab saya yang mengeluhkan kenaikan kertas. Ya, sejak 1997 hingga Habibie dilantik sebagai Presiden, gonjang-ganjing harga kertas begitu dahsyat.

Hal ini jelas sangat mengganggu keberlangsungan kehidupan pers. Ya, kala itu pers, baca penerbitan Koran dan Majalah, sangat bergantung dengan stabilitas harga kertas. Dan karena ekonomi kita yang sedang terjun bebas, maka kertas jadi tak terjangkau.

Di luar dugaan, Habibie merespon dengan pertanyaan lain. Beliau bertanya berapa biaya produksi, berapa harga jual, dan segala macam. Bahkan beliau memberi saran agar mengurangi halaman. “Yang penting jangan sampai memPHK karyawan,” tuturnya dengan serius.

Saya waktu itu mempin empat media cetak milik Bakrie, Tabloid _GO_ khusus olahraga, harian Nusa Bali, harian Sinar Pagi, dan harian Berita Buana Sore. Momen ini sungguh saya gunakan agar ke-4 media yang saya pimpin bisa tetap eksis. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh para pimpinan media cetak lain. Dialog yang penuh semangat.

Maklum, selama lebih dari 30 tahun di era Pak Harto dialog terbuka jarang sekali terjadi. Kalau pun ada, semua sudah di _setup_ terlebih dahulu. Jadi, tentu tidak cair. Hal ini bisa kita pahami, karena jika tidak diatur, maka akan terjadi debat antara pemimpin dengan rakyat. Dan masa itu hilang di era Habibie.

Mensesneg Akbar Tanjung, coba menengahi. Tapi, alih-alih disetujui oleh presiden, Habibie malah meminta Akbar mencatat saja.

Sejak itu, saya berulang diminta untuk selalu hadir saat Habibie bertemu dengan pengurus PWI.
Bahkan ketika beliau berulang tahun, saya pun ikut diundang.
“Mana pemrednya Bakrie?” tanya Habibie saat menyambut mantan dan Ketua Umum PWI Pusat, Sofyan Lubis serta Tarman Azzam.

Ada adegan lain yang membuat saya sangat terkesan. Waktu itu menjelang magrib, Juni 1998. Saya dengan beberapa sahabat SMPN 8 dan SMAN 7 Jakarta ikut menyambut kedatangan jenazah Pangdam IX Udayana Mayjen TNI Yudhomo Sastrosoehardjo yang gugur saat pesawatnya jatuh di Dili, Timor Timur (4/6/98). Selain pangdam banyak perwira menemgah ikut gugur, satu di antaranya sahabat kami, Kepala Seksi Operasi (Kasiops) Korem 164/WD Letkol (Inf) Simson G Sigar, keponakan Prabowo Subianto dari ibu.

Saat kami berdoa, tiba-tiba Presiden Habibie datang. Seperti biasa, Paspampres untuk menjaga keamanannya, lokasi dibersihkan. Nah, saat itu terjadi dorong-dorongan. Entah bagaimana awalnya, saya terdorong dan membentur presiden.

Protap paspampres jelas, saya ditarik. Lagi-lagi di luar dugaan saya Habibie justru menarik tangan pengawalnya. “Biarkan gak apa-apa, itu wartawan Bakrie,” katanya.

Saya tersenyum sambil menganggukan kepala. Saya bersyukur, meski beliau tidak ingat nama saya, tapi beliau ingat grup media Bakrie.

Sejak itu masih ada 4 sampai 5 kali saya bersama beberapa pengurus inti PWI Pusat, berdialog dengan Presiden Habibie. Ya, kala itu saya wakil sekjen PWI yang selalu dikenal Habibie sebagai wartawan Bakrie.

Selamat jalan Pak Habibie, semoga Allah meringankan jalanmu, memaafkan khilafmu, dan melimpahkan rahmatNya untukmu. Selamat jalan Pak Habibie, semoga perjalanmu lancar dan segera bertemu dengan pujaan hatimu, Ibu Ainun.
Aamiin…

Simak berita dan artikel lainnya di Google News