RUU KUHP: Tak Lagi Dipenjara, Gelandangan Maksimal Didenda Rp 1 Juta

KUHP saat ini memasukan gelandangan sebagai delik pelanggaran. Namun dalam RUU KUHP, gelandangan tidak lagi dipenjara, tapi cukup dijatuhi denda maksimal Rp 1 juta.

KUHP saat ini mengancam gelandangan dihukum kurungan 3 bulan. Pasal 505 KUHP berbunyi:

(1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Dalam RUU KUHP hal itu berubah. Pada Bagian Kedelapan tentang Penggelandangan disebutkan gelandangan cukup dikenai hukuman denda.

“Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (denda maksimal Rp 1 juta-red),” demikian bunyi Pasal 432 RUU KUHP sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (30/8/2019).

Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, KUHP Belanda yang melarang gelandangan sebagai implementasi semangat masyarakat Eropa kala itu. Ia menceritakan sejarah terbentuknya KUHP yaitu dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda. Lalu dibawa penjajah ke Indonesia pada 1872. Hingga diberlakukan secara nasional pada 1918 oleh pemerintah kolonial di seluruh Nusantara.

“Pertimbangan pergelandangan dilarang dan bisa dipidana karena orang Eropa tidak suka. Mereka berpikir manusia harus bekerja keras dan hidup hemat. Sehingga apabila ada yang miskin dan menggelandang itu salahnya sendiri,” ujar Soetandyo saat berbincang dengan detikcom pada 2012 lalu.

Filosofi pikir orang Eropa tidak bisa diterima di Indonesia. Sebab dalam kacamata agama yang dianut masyarakat Indonesia, seperti Islam, orang miskin harus diberi sedekah dan disantuni.

“Kalau itu kan sudah tafsir moral. Tapi kan kita punya pijakan UUD 1945 yang harus dipatuhi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Soetandyo yang wafat pada September 2013.

Dia sangat berharap MK punya kearifan untuk menghapus pasal gelandangan tersebut. Sebab meskipun tidak dibatalkan di MK, semua hakim tidak boleh menggunakan pasal tersebut karena tidak relevan.

“Hakikat orang dipidana kan karena melanggar hukum. Tapi hukumnya siapa? Apa iya karena melanggar hukum kolonial Belanda?” tanya balik Soetandyo.

(asp/mae/detikcom)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News