Wiranto Menko Polhukam merespon wacana referendum yang dilempar eks Panglima GAM Muzakir Manaf. Wiranto menegaskan tak ada jalan untuk referendum di wilayah NKRI.
Kemenko Polhukam pun menggelar rapat khusus menanggapi wacana yang dilempar oleh Muzakir. Seusai rapat, Wiranto menegaskan NKRI tak lagi mengenal referendum.
“Tadi memang kita mengadakan pertemuan, rapat, koordinasi yang membahas masalah adanya gerakan referendum terutama di Aceh. Jadi tadi yang terpenting adalah yang saya sampaikan bahwa masalah referendum itu sebenarnya dalam khazanah hukum positif di Indonesia sudah selesai, nggak ada. Karena beberapa keputusan-keputusan baik Tap MPR maupun UU sudah membahas sebelumnya dan sudah ada pembatalan,” kata Wiranto di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (31/5/2019) seperti dilansir detiknews.
Wiranto menyebut soal Tap MPR Nomor 8 Tahun 1998 yang mencabut UU Nomor 4 Tahun 1993 tentang Referendum. Eks Panglima ABRI itu juga menyebut UU Nomor 6 Tahun 1999 yang mencabut UU Nomor 5 tentang Referendum.
“Jadi ruang untuk referendum dalam hukum positif di Indonesia sudah tidak ada. Jadi nggak relevan lagi, apalagi kalau kita hadapkan kepada internasional court yang mengatur tentang masalah ini, ini juga nggak relevan,” ujar Wiranto.
Wiranto menduga suara sumbang soal referendum ini ada kaitannya dengan kegagalan Muzakir di Pilgub Aceh dan merosotnya suara Partai Aceh di Pemilu 2019.
“Mungkin ada kekecewaan karena pilgub kalah, kemudian Partai Aceh sekarang mungkin kursinya merosot, kalau tidak salah pemilu pertama dia ikut 2009 itu kursinya 33, lalu 2014 tinggal 29. Sekarang kalau nggak salah tinggal 18 kursi,” ujar Wiranto.
Ditanya soal sikap pemerintah, Wiranto mengatakan akan ada proses hukum untuk masalah tersebut. Namun dia tak merincinya.
“Tatkala hukum positif sudah tidak ada dan tetap ditabrak, tentu ada sanksi hukum,” ujarnya.
Pidato Muzakir terkait referendum itu viral di media sosial. Pria yang akrab disapa Mualem tersebut menyampaikan pidato saat memperingati sembilan tahun wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Muhammad Hasan Ditiro. Acara digelar di Banda Aceh pada Senin (27/5) malam.
Acara haul ini dihadiri sejumlah pejabat di Aceh dan mantan kombatan GAM. Dalam sambutannya, Mualem menyebut Indonesia saat ini sudah di ambang kehancuran.
“Alhamdulillah, kita melihat pada masa ini bahwa negara kita Indonesia keadilan entah ke mana dan demokrasi entah ke mana. Jadi kita sama-sama melihat Indonesia di ambang kehancuran dari segi apa saja. Kita ikut merasa sedih melihat keadaannya. Itu sebabnya, Pak Pangdam saya minta maaf, Aceh mungkin ke depan lebih baik kita minta referendum saja,” kata Mualem disambut tepuk tangan tamu undangan.
“Karena, sesuai dengan Indonesia, tercatat ada bahasa, rakyat, dan daerah (wilayah). Maka oleh sebab itu, dengan kerendahan hati, dan supaya suara ini dapat tercium juga ke Jakarta. Inilah hasrat rakyat dan bangsa Aceh untuk berdiri di atas kaki sendiri,” lanjut Mualem, yang juga Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi wilayah Aceh.
Mualem mengaku khawatir Indonesia bakal kembali dijajah bangsa lain. Untuk itu, dia meminta Aceh mengikuti jejak Timor Timur, yang memisahkan diri dari Indonesia.
“Daripada kita dijajah orang lain, lebih baik kita berdiri di atas kaki sendiri. Mudah-mudahan, ini adalah satu usaha dan pemikiran bangsa Aceh saat ini. Mudah-mudahan dengan niat kita semua, lebih baik kita mengikuti Timor Timur,” beber Mualem.
Dalam sambutannya, Mualem juga menyebut beberapa tokoh dan pengamat dari Australia, Jepang, dan Malaysia mengungkapkan Indonesia tidak dapat diselamatkan. Ketua Umum Partai Aceh ini juga menyinggung utang Indonesia yang semakin menumpuk.
“Ini yang kita khawatirkan, daripada kita dijajah oleh bangsa lain, lebih baik kita berdiri di atas kaki kita sendiri,” ungkapnya.
Menanggapi ajakan referendum tersebut, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyatakan menghargai semua pendapat. Namun follow up-nya harus sesuai dengan konstitusi.
Konstitusi yang dimaksud, jelas Nova, dari pembukaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Dasar (UUD) itu sendiri, undang-undang (UU), hingga semua hierarki perundangan-undangan di bawahnya.
“Tapi pada tingkat pertama, saya ingin mengajak kita berpikir jernih, semua pendapat harus dihargai. Kemudian kita lihat apakah ada peluang untuk bisa ditindaklanjuti atau tidak tergantung konstitusi dan semua perundangan yang ada,” kata Nova saat ditemui wartawan di kompleks Pendopo Gubernur Aceh, Rabu (29/5) malam.
“Tapi ini menjelang hari raya mungkin kita bahas lebih dalam sesudah hari rayalah. Mungkin kita juga perlu buka referensi,” jelas Nova.