Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan bercerita soal kesialannya saat memangku dua jabatan di pemerintahan pada saat krisis tahun 1998. Saat itu, Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia.
Hal itu disampaikan Wiranto saat bertemu dengan sejumlah pemimpin media massa.
“Saudara-saudara sekalian, saya ini memang agak sial, agak sialnya begini, Di Orde Baru ini saya cuma 3 bulan bergabung. Ujung Orde Baru, Bulan Februari tanggal 28 saya diangkat jadi Menhankam, Pangab. Mei Pemerintah jatuh,” kata Wiranto di JS Luwansa, Jakarta, Jumat 17 Mei 2019.
Hanya dalam tiga bulan memimpin itu, Wiranto mengatakan Ia langsung berhadapan sebuah gejolak yang luar biasa di masyarakat yang taruhannya adalah keutuhan sebuah negeri.
“Taruhannya negeri ini runtuh. Sebelumnya, saya lihat pendahulu saya pak Faisal Tanjung itu jadi Pangab, enak ya, jadi Pangab kok enak. Liat pak Yusuf, Menhankam Pangab dulu saya masih Kapten, wuih, kayak malaikat, hebat ini,” kata Wiranto yang memancing gelak tawa para hadirin.
Namun, sialnya Wiranto, saat menjabat sebagai Menhankam dan Pangab, ada krisis nasional. “Setelah saya jadi, saya menghadapi krisis nasional, kalau saya salah ambil langkah negeri ini bisa hancur,” kata dia.
Pada saat itu, Wiranto mengatakan bahwa Komando keselamatan ada di bawahnya baik TNI dan Polri. Dia pun boleh membuat kebijakan nasional. Ia juga mengaku sempat kepikiran untuk mengambil alih pemerintahan, namun tentu ada akibat yang lebih besar yang membuatnya urung melakukan hal tersebut.
“Semua Menteri harus bantu panglima, menetralisir, wah tanpa kampanye ambil alih enak nih, tapi ambil alih akibatnya apa, apakah negeri ini akan selamat, akhirnya civil war perang saudara,” kata dia.
Akan tetapi, lanjut Wiranto, tentunya para kaum reformis yang cita-citanya tak tercapai. “Kalau TNI naik bisa benturan dengan rakyat. Panglima ABRI pasti benturan dengan rakyat, Untung saya waktu itu masih waras, saya hitung enggak boleh,” kata dia.
Untuk Pemilu saat ini, lanjut dia, seluruh masyarakat sedang menunggu hasilnya. Ia pun menyayangkan, langkahnya untuk melakukan pengamanan saat pemilu dituding oleh beberapa pihak seperti kembali ke zaman Orde Baru.
“Saya berharap kondisi sekarang jangan ke arah ke sana. Karena risikonya besar bagi negeri ini. Kalau sampai terjadi perpecahan, terjadi satu konflik nasional, berat sekali bagi bangsa ini. Risikonya berat,” kata dia. (mus)/(viva)