Oleh : Djadjang Nurjaman
(Pengamat Media dan Kebijakan Publik)
Gak ada angin, gak ada hujan pemandu acara TV senior Karni Ilyas tiba-tiba mengumumkan cuti.
Melalui akun twitternya @karniilyas mencuit : Dear pecinta ILC. Selama hampir setahun ILC sudah bekerja memberikan informasi, pendidikan publik dan ikut mengawal dari kampanye sampai pemilu. Karena itu mulai Senin besok, saya memutuskan untuk mengambil cuti. Mohon maaf dan sampai ketemu di ILC yad.
Tak lama kemudian dia membuat ralat : Maaf, maksudnya Selasa besok.
Banyak yang terkejut dengan pengumuman Bang KI, begitu dia biasa dipanggil. Cuti, apalagi di momen penting seperti saat ini, tidak ada dalam kamus KI. Ini anomali, bahkan deviasi. Menyimpang. Ada sesuatu yang tidak wajar.
Selama menjadi wartawan, penggila kerja ini diketahui jarang mengambil cuti. Apalagi saat ini merupakan momen krusial, saat penghitungan suara pilpres. Saat-saat yang sangat menentukan kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Sebagai wartawan yang besar di lapangan, dia selalu hadir dalam momen-momen penting. Dia juga hadir dalam momen berbahaya seperti penggerebekan jaringan teroris DR Azhari di Batu Malang.
Begitulah wartawan sejati. Dia justru mendekat, ketika orang lain menjauh. Dia ingin tahu, ketika orang lain tidak ingin tahu, atau pura-pura tidak tahu.
Sangat aneh rasa ingin tahu (curiosity l) KI tidak tertantang untuk mengetahui ada apa di balik kisruhnya pelaksanaan pilpres kali ini. Ada apa di balik massifnya kecurangan yang dilakukan kubu petahana.
Karena itu ketika tiba-tiba KI mengumumkan cuti banyak yang curiga. Pasti ada apa-apanya.
Sebuah sumber di TV One membisikkan, KI memilih cuti ketimbang harus kompromi dengan tekanan penguasa.
Sebagai sebuah tayangan yang sangat kritis, menampilkan nara sumber dari berbagai sudut pandang, Indonesia Lawyers Club (ILC) dinilai sering membuat merah telinga penguasa. Beberapa kali ILC sempat tidak tayang. Salah satunya ketika suhu politik memanas pada saat Aksi 212.
Biasanya yang jadi sasaran penguasa adalah keluarga pengusaha Aburizal Bakrie (ARB) pemilik TV One. Proyek bisnis oil dan gas keluarga Bakrie bernilai trilyunan dolar AS diamputasi Menteri ESDM Ignasius Jonan, karena ARB pasang badan ILC tetap tayang .
Tekanan terhadap keluarga Bakrie terus berlanjut selama proses Pilpres 2019 berlangsung. Mereka terpaksa harus melakukan kompromi-kompromi politik.
ARB melalui Golkar menyatakan mendukung Jokowi. Anindya Bakrie anak sulung ARB hadir dalam deklarasi pengusaha pendukung Jokowi yang dikomandoi Yusuf Wanandi. Sebaliknya TV One terus tampil kritis. Begitu juga ILC.
Sebagai sebuah tayangan talk show politik, ILC menempati peringkat teratas diantara tayangan sejenis. Jumlah pemirsanya terbanyak. Hal itu tercermin dari rating dan share audience yang tinggi.
Dari sisi revenue, ILC juga sangat menguntungkan. Ibarat ayam petelur, ILC adalah ayam bertelur emas. Setiap tayang bisa menghasilkan milyaran rupiah dari slot iklannya.
Publik bertanya-tanya mengapa KI dan manajemen TV One memutuskan menghentikan sementara tayangan, sampai waktu yang tidak ditentukan.
Pasti ada tekanan yang sangat kuat dan tidak mampu mereka tahan. Ketimbang berkompromi membuat tayangan yang tidak sesuai dengan “jati diri” ILC dan KI, lebih baik tidak usah tayang sekalian.
Kalau sekedar KI ingin istirahat, karena kelelahan memandu acara sepekan sekali, mereka bisa membuat rekaman untuk tayangan tunda. Agar isunya tetap aktual, bisa kok diprediksi topik apa yang akan tetap hangat sampai sepekan ke depan.
Sejumlah pimpinan media mengakui, ada tekanan dari penguasa untuk tidak membuat tayangan/pemberitaan kecurangan-kecurangan pilpres. Selain kecurangan, mereka juga diminta tidak memberitakan kegiatan deklarasi, atau aksi massa menentang pilpres curang.
Tekanan itu bahkan sampai hal-hal yang sangat sepele. Portal berita Warta Kota menjadi salah satu korbannya. Mereka terpaksa menghapus konten berita yang dinilai merugikan palson 01.
Warta kota sebelumnya menurunkan berita tentang protes sejumlah tokoh Sunda atas pernyataan Amin Mudzakir pendukung Jokowi. Dalam statusnya Amin minta maaf karena Jokowi kalah di Jabar. Menurutnya orang Sunda sulit diajak maju.
Berita itu sempat tayang http://wartakota.tribunnews.com/2019/04/22/heboh-pelecehan-orang-sunda-dan-sejumlah-wilayah-yang-dimenangkan-prabowo-subianto. Namun ketika dibuka naskahnya sudah tidak ada.
Sumber di Warta Kota menyebut mereka mendapat tekanan. Sejumlah petinggi media itu diidentifikasi sebagai pendukung Jokowi “banyak cebong disini kang,” ujar salah satu wartawan.
Selain kecurangan pilpres gila-gilaan, praktik pemberangusan terhadap kebebasan pers menjadi ciri utama dari rezim Jokowi. Benar seperti dikatakan oleh sejumlah pengamat asing, rezim Jokowi anti demokrasi dan otoriter.
We will miss you Bang KI. See you soon. Entah sampai kapan?