Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Ratmoho, pada Senin (28/1/2019), menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada musisi dan aktivis prodemokrasi, Ahmad Dhani Prasetyo.
Dhani dinyatakan majelis hakim bersalah karena dianggap melanggar pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Mirisnya, usai pembacaan vonis, Pentolan grup musik Dewa 19 itu pun langsung dijebloskan kedalam penjara Cipinang, Jakarta Pusat.
Keputusan tersebut mengundang reaksi beragam dari masyarakat, salah satunya Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma. Ia menilai, vonis terhadap Dhani merupakan bentuk ketidakadilan dan bukti penegakan hukum bisa dipesan.
“Selain Dhani, ada banyak kasus ujaran kebencian dan pelanggaran UU ITE yang juga dilaporkan ke penegak hukum tapi tidak ditindaklanjuti. Tapi laporan terhadap Dhani langsung diproses, disidang, divonis dan dipenjara,” kata Lieus dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (30/1/2019).
Padahal, menurut Lieus, apa yang dikatakan Dhani dalam cuitannya di akun twitter dan instagram pribadinya, tak terlalu ‘kasar’ dibanding ujaran kebencian lain yang juga dilaporkan masyarakat ke polisi.
“Misalnya ujaran tentang orang yang mengatakan Presiden Jokowi ‘kacung dan mau menembaknya.’ Atau ujaran kebencian politisi NasDem yang akan membunuh umat Islam, atau ujaran seorang politisi yang menyebut Prabowo Asu,” ujar Lieus.
Karenanya, ia sangat menyayangkan vonis yang dijatuhkan majelis hakim PN Jakarta Selatan tersebut. Meski lebih ringan dari tuntutan jaksa, Lieus berpendapat hukuman tersebut sangat melukai rasa keadilan. “Apa yang dialami Dhani jelas ancaman bagi kebebasan berpendapat,” tegasnya.
Lebih jauh Lieus menyebut, apa yang terjadi dengan suami Mulan Jameela itu membuktikan bahwa
penerapan UU ITE di era Presiden Jokowi ternyata sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang menempatkan kebebasan berpendapat sebagai syarat utamanya.
“Penerapan UU itu sangat berbeda di era Jokowi dan SBY. Di era presiden SBY, nyaris tak ada aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE. Inilah yang menyebabkan demokrasi kita di era Jokowi dalam bahaya dan akan menjadi sangat mahal taruhannya,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Lieus, salah satu tujuan reformasi 1998 adalah untuk membuka jalan bagi kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara.
“Tapi sekarang justru kebebasan berpendapat itu coba dikerangkeng dengan menggunakan Pasal dalam UU ITE. Ironisnya, di era Jokowi penerapan pasal UU tersebut ternyata tidak sama pada semua orang. Ada pilih kasih. Kesannya, penegakan hukum terkait UU ITE itu bisa dipesan,” tegasnya lagi.
Untuk itu, ia mengajak semua elemen pro demokrasi untuk mengkritisi dan menyikapi vonis yang dijatuhkan hakim pada Ahmad Dhani tersebut. “Semua elemen prodemokrasi harus bersatu bukan saja demi pembebasan Dhani, tapi juga demi kebebasan berpendapat di negeri ini,” tandas Lieus.
Sebab, tambahnya, ini bukan vonis pertama yang dijatuhkan pada aktivis pro demokrasi. “Sebelum Dhani ada banyak aktivis lain yang ditangkap dan dipenjara karena penerapan UU ITE yang tidak berkeadilan itu,” tutupnya.