Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan saat ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan-KS) sudah berada di Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII.
“Kami sudah melakukan pertemuan dengan panja pemerintah 1 kali dan beberapa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak dan lembaga,” ujarnya di Jakarta, Senin (10/12).
Politisi yang akrab dipanggil Saraswati ini mengakui RUU tersebut sudah masuk ke Komisi VIII sejak beberapa bulan yang lalu.
Namun pembahasannya harus menunggu antrian RUU lainnya yang masuk lebih awal. Seperti RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Tahun 1440H/2019 M dan RUU Praktik Pekerja Sosial (RUU Peksos).
Kendala lain yang menyebabkan lambatnya pembahasan RUU Penghapusan KS adalah anggota DPR setidaknya dua kali dalam setahun melakukan pembahasan anggaran yakni APBN dan APBNP.
“Pembahasan anggaran negara ini menyita waktu cukup lama karena kami harus rapat tidak hanya dengan para menteri tapi tentunya dengan para sekjen, irjen dan/atau dirjen tiap kementerian dan badan untuk memastikan anggaran yang diajukan sesuai dengan kepentingan rakyat,” tambahnya.
Saraswati menambahkan kendala lain yakni masih ada koleganya di DPR yang belum memahami ruh RUU ini.
Ia bahkan mengatakan ada rekannya yang mempercayai RUU ini titipan negara lain dan pihak-pihak yang ingin menyisipkan agenda terselubung.
Faktanya perancang dan pengusung RUU ini adalah Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan yang tidak lain adalah para pendamping korban kekerasan di Indonesia.
“Dan inipun produk pembahasan yang cukup lama dan mendalam dengan hampir setiap pemerhati perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia,” tuturnya.
Ia menambahkan perspektif pimpinan komisi dan panja turut mempengaruhi kelanjutan pembahasan RUU ini.
Para pimpinan ini menentukan jadwal pembahasan yang akan diajukan untuk disepakati di awal tiap masa sidang.
Pemahaman dan semangat yang berbeda antara pimpinan komisi dan panja dengan para perancang RUU tentu menjadi faktor lamanya pembahasan RUU ini.
Saraswati mengakui setiap orang berhak memiliki dan mempertahankan ideologi masing-masing.
Namun, Ia bersama rekan-rekan aktivis perlindungan korban kekerasan berharap
semua anggota panja dan Komisi VIII dapat mengingat kebutuhan para korban kekerasan yang masih belum bisa mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan di bangsa ini.
Hingga saat ini menurutnya korban terus berjatuhan dan banyak yang belum berani melapor ke penegak hukum. Mereka menilai aturan hukum yang ada belum memberi jaminan keadilan.
“Semua UU yang sudah ada yang berkaitan dengan kekerasan seksual masih bercelah dan sampai saat ini belum ada daftar definisi yang mendetil dan yang dapat menjelaskan semua tipe kekerasan seksual yang bisa dan telah terjadi di Indonesia,” tegasnya.
Ia berharap rekan Komisi VIII memprioritaskan kebutuhan para korban dibanding kekhawatiran segelintir orang atas kemungkinannya RUU ini disalah gunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Catahu) 2018 sebanyak 348.446 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh Komnas sepanjang tahun 2017.
Pernyataan Saraswati merupakan bentuk dukungannya terhadap desakan sejumlah aktivis anti kekerasan seksual yang melakukan pawai di sejumlah kota di Indonesia 8 Desember yang lalu. Mereka mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan-KS.