Lieus Sungkharisma: Index Kota Toleran 2018 Setara Institute “Ngaco”

Lieus Sungkharisma (IST)

Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma meragukan validitas indeks kota toleran 2018 yang dikeluarkan Setara Institute pimpinan Hendardi belum lama ini. Apalagi ketika index itu menempatkan Jakarta dan Banda Aceh sebagai kota paling tidak toleran dari 94 Kota di Indonesia.

“Saya berkeyakinan index itu tidak valid dan dibuat berdasarkan sentimen tertentu. Atau bisa saja ada kepentingan politik besar di belakangnya,” ujar Lieus.

Menurut Lieus, menempatkan sejumlah kota seperti Banda Aceh, Jakarta, Medan, Tanjung Balai, Padang, Makassar dan sejumlah kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebagai kota paling tidak toleran jelas “Ngaco”.

“Ukurannya apa hingga Jakarta disebut sebagai kota paling tidak toleran? Apa karena Ahok kalah dalam Pilkada? Begitu juga dengan Banda Aceh, apa karena disana berlaku syariat Islam? Setara harus menjelaskan metode dan kriteria yang diagunakan,” kata Lieus.

Sebaliknya, kata Lieus, Setara menempatkan Singkawang, Manado, Bekasi, Tomohon, Surabaya sebagai kota paling toleran. “Apa ukurannya?” tanya Lieus.

Seperti diketahui, Jum’at (7/12/2018) Setara Institute merilis daftar indeks kota di Indonesia di Hotel Ashley, Jakarta Pusat. Lembaga ini mengumumkan 10 kota di Indonesia yang dinilai paling toleran saat ini dan 10 kota paling tidak toleran. Rilis itu kabarnya berdasarkan riset Setara Intitute di 94 kota di Indonesia.

Setara Institute memberlakukan empat kriteria agar sebuah kota layak dianggap toleran. Keempat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah kota agar bisa dinilai toleran, yakni 1. Pemerintah kota memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi; 2. Pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif; 3. Tingkat peristiwa dan pelanggaran kebebasan keberagamaan rendah atau tidak ada sama sekali; 4. Upaya dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya dapat dinilai baik.

Yang menjadi pertanyaan, kata Lieus, siapa pula yang memberi mandat pada Setara untuk menetapkan empat kriteria itu hingga bisa menjadi dasar penilaian sebuah kota toleran atau tidak?

Karena itulah, ujar Lieus, ia tidak saja meragukan validitas penilaian yang dilakukan Setara, tapi juga mempertanyakan niat yang ada di belakang rilis itu. “Setahu saya di Banda Aceh setiap orang, apapun agama dan sukunya, bebas menjalankan ibadahnya dan bebas bersosialisasi. Tak ada hambatan apapun bagi orang non Aceh untuk beraktivitas di Aceh sepanjang mereka memenuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku di daerah itu sebagai daerah istimewa yang menerapkan syariat Islam,” kata Lieus.

Hal yang sama, kata Lieus, juga berlaku di Jakarta. “Tak ada hambatan apapun dalam bertoleransi di Jakarta sebagai ibukota negara. Gereja, Masjid, Vihara, bisa berdiri berdampingan di Jakarta.

Orang pun, meski berbeda suku dan ras, bisa menjalankan ibadah dan aktivitas sosialnya tanpa hambatan. Lha, kok dibilang tidak toleran? Ngaco itu. Ngaco….,” kata Lieus.

Ditambahkan Lieus, rilis hasil survei dari lembaga-lembaga seperti inilah yang membuat bangsa ini gaduh terus dan tak pernah tenang.

“Apakah Setara pernah membayangkan berapa banyak warga kota yang tadinya baik-baik saja, tapi karena disebut tidak toleran menjadi kecewa, jengkel dan marah? Kalau mau bikin survey, bikinlah yang membuat damai bangsa ini, bukan malah merusak kedamaian yang sudah ada,” tambahnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News