Oleh: Nazar EL Mahfudzi
Reuni 212 memainkan narasi memperjuangkan kepentingan umat Islam dan rakyat Indonesia yang selama ini diabaikan oleh negara.
Aksi 212 maupun reuni yang diselenggarakan di Monas menjadi gerakan populisme Islam. Sebuah idiom budaya yang terkait dengan Islam dibangun untuk mobilisasi dukungan publik dalam kontes kekuasaan dan sumber daya berdasarkan identitas politik berbasis ummah. (Vedi R Hadiz,2018).
Populisme Islam sebagian masyarakat menghargai kebijakan yang bersumber dari fatwa atau ijtima’ Ulama untuk memperjuangkan rasa keadilan kepentingan ummat Islam sebagai mayoritas, non muslim pun ikut mendukung sebagai minoritas
Selama ini ada tudingan ideologi negara Pancasila yang selalu dibenturkan dengan Agama Islam seakan menjadi sebuah sikap intoleransi yang radikal.
Parpol tidak mampu lagi menengahi ranah ideologi untuk membingkai dan mengidentifikasi ummat Islam yang selalu cinta damai bahkan kelompok gerakan Islam di Indonesia sebagai ancaman negara.
Arus besar oposisi biner sebagai gerakan perdamaian dan solidaritas ummat Islam “Ukhuwah” menggelar Reuni 212″ lahir dari kelompok yang memainkan isu populis dan berusaha melebur menjadi satu kesatuan masyarakat “society” .
Keterwakilan masyarakat merasa bahwa elite politik (pemerintah) menciptakan negara yang gagal mewakili “kita” proses inklusi berekpresi dan mengalami berbagai macam diri yang berbeda. (Hamleleers dkk,2018 “teori identitas” ).
Negara menjadi eksklusi dalam mencermati Reuni 212 yang memainkan peran isu populisme Islam karena pemilih dimobilisasi menjelang pilpres 2019.
Bagaimanakah perlawanan kaum oposis biner dalam memainkan isu populis Islam?
Dalam sebuah aksi reuni akbar 212 pada Ahad , 2 Desember 2018, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dalam pidato sambungan intercom menyampaikan 6 point utama yaitu ;
Pertama, Mengurus negara jangan bohong
Kedua, Ayat Suci diatas konstitusi
Ketiga, Gerakan menghancurkan sendi agama
Keempat, Ekonomi neo-liberal (neolib)
Kelima 2019 ganti Presiden.
Keenam , Tidak pilih partai penista agama.
Keenam isu utama itu sebagai perlawanan atas tuduhan radikalisme Islam dan Islamphobia d itengah ketidaktahuan masyarakat non-muslim sehingga menutupi jati diri umat Islam.
Keberhasilan menggelar ijtima aksi reuni Akbar 212 berjalan aman, tertib, lancar diwarnai toleransi terhadap agama lain masuk dalam wilayah rasa aman dan nyaman.
Maka Isu populis Islam turut mewarnai dalam geopolitik bangsa Indonesia, hadir dalam 3 faktor utama kesejahteraan, kekuatan dan pengaruh politik yang tidak dapat dihasilkan oleh negara calon petahana menjelang pilpres 2019.