DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
Ketua Umum HRS Center
Kalimat Tauhid demikian mulia dan agung menurut agama Islam. Penghinaan terhadap kalimat Tauhid dalam berbagai bentuknya, menurut Pasal 156a huruf a KUHP tergolong tindak pidana penghinaan (penodaan) agama. Terhadap siapapun yang melakukan penghinaan tersebut harus ditindak, tanpa kecuali (equality before the law).
Terjadinya pembakaran bendera berkalimat Tauhid oleh anggota Banser, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah bukan memperluas dan mempermasalahkan tentang status kepemilikan bendera. Sepanjang telah terjadi penghinaan, maka yang menjadi obyek permasalahan adalah penghinaannya, bukan masalah siapa yang memiliki dan/atau membawa bendera berkalimat Tauhid. Menurut ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP bahwa “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah “notoire feite.” Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa bendera berkalimat tauhid adalah “arroyah – alliwa”, oleh karenanya tidak perlu dibuktikan.
Persoalan niat kembali muncul dalam pembakaran bendera berkalimat Tauhid, mengingatkan kita pada saat awal mula terjadinya penodaan terhadap Surah al-Maidah ayat 51 oleh Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Sebagaimana perluasan tentang status kepemilikan bendera, perluasan pemenuhan unsur juga terjadi yakni mencari niat pelaku. Pernyataan tidak ada niat, sebab pelaku melakukan pembakaran tersebut dilakukan dengan spontan, mirip dengan kasus Ahok. Seolah-olah pelaku pembakaran dikonstruksikan tidak ada niat untuk membakar sebab dilakukan dengan spontan, membakarnya pun harus mencari kertas dan korek api. Jika demikian halnya, maka terhadap orang yang memberikan kertas dan korek api, menurut hukum pidana harus dipastikan apakah ia dengan sengaja memberikan bantuan untuk terjadinya delik (medeplichtige), sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 angka 1e KUHP.
Pembantuan harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa membantunya “nullus dicitur accessories post feloniam sed ille qui novit principalem feloniam fecisse, et illum receptavit et comfortavit.” Pada pembantuan, orang yang membantu bersifat sekunder, dalam artian membantu pada tahap persiapan tindak pidana. Dapat dikatakan, inisaitif untuk membakar ada pada anggota Banser bukan pada orang yang memberikan kertas dan korek. Pemberian kertas dan korek adalah bersifat sekunder.
Pihak Kepolisian juga mengatakan bahwa pelaku pembakaran belum berstatus tersangka, karena tidak ditemui adanya niat dan juga disebut “mens rea”, adalah suatu kesalahpahaman dalam memaknai unsur delik “dengan sengaja”. Niat bukan sebagai unsur delik (bestandeel delict), dan oleh karenanya tidak perlu dicari dan tidak perlu pula dibuktikan ketika perkara diperiksa pada sidang pengadilan. Perihal niat ditentukan dari tindakan seseorang baik dengan sengaja (dolus) atau kelalaian (culpa). Pasal 156a huruf a KUHP menyebut secara expressive verbis “dengan sengaja” dan dengannya menjadi unsur delik. Tidak dapat dipungkiri, perihal kesalahan (mens rea) menempati posisi yang paling menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Untuk adanya suatu kesalahan harus ada keadaan psikis atau batin tertentu, dan harus ada hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut (subjective onrechtelement) dengan perbuatan yang dilakukan (objective onrechtelement) sehingga menimbulkan suatu celaan, yang pada nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya seseorang di pertanggungjawabkan secara pidana. Kesalahan dalam praktik ditentukan dari adanya kesengajaan, dimana kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti).
Pada diri pelaku terdapat adanya kehendak yang tentu pula didalamnya sudah terkandung adanya niat. Kehendak itulah yang telah mendorong dirinya untuk mewujudkan perasaannya. Untuk menentukan adanya kehendak, tolok ukurnya adalah kesengajaan sebagai wujud penggunaan pikiran yang diarahkan untuk terjadinya tindak pidana. Rumusan Pasal 156a huruf a KUHP tidak mensyaratkan adanya akibat tertentu dari perbuatan pelaku (delik formil), maka teori kehendak dapat digunakan. Sebab, apakah pelaku mengetahui atau tidak akan adanya akibat tidaklah dipersoalkan.
Terakhir, disampaikan, jika memang Kepolisian berpendapat tidak memenuhi unsur, maka menurut hukum acara harus diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dengan demikian kepastian hukum lebih terjamin. Bagi pihak-pihak berkepentingan dapat menguji keberadaan terbitnya SP3 dimaksud melalui mekanisme Pra Peradilan.