Oleh: Haris Rusly Moti
Ratna Sarumpaet, saya biasa panggil Kak Ratna. Ratna sudah punya punya cucu. Kadang saya sering mengejeknya dengan panggilan “Nenek Cantik”, karena usia Ratna yang telah memasuki 70-an tahun.
Terakhir kali saya bertemu Ratna di saat konferensi pers menentang kebijakan pemerintahan Joko Widodo, yang ketika itu menghentikan secara sepihak pencarian korban tenggelamnya KM Sinar Bangun di danau Toba. Saya menelpon Ratna dan turut hadir menyampaikan pernyataan dukungan atas sikap Ratna tersebut.
Sejalan dengan sikap Ratna, sebelumnya saya juga menulis opini tentang “Isyarat Alam dari Toba” di sebuah media on line. Konfrensi pers itu diadakan di rumahnya, yang juga dijadikan sebagai markas dari Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC) yang bergerak di bidang sosial.
Organisasi yang lain yang dibentuk dan dipimpin sendiri oleh Ratna adalah Gerakan Selamatkan Indonesia (GSI), yang konsisten mengkritik arah dan kebijakan dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Ratna dengan GSI nya sangat lantang menyuarakan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli (untuk diadendum) dan disempurnakan. Bagi Ratna, jalan menyelamatkan Indonesia dari keruntuhan dan ancaman perang saudara hanya dengan kembali kepada UUD 1945 untuk mengkahiri demokrasi barbar dan kriminal produk reformasi.
Sebelum konfrensi pers terkait musibah Toba itu diadakan, pada tanggal 2 Juli 2018 Ratna sempat beradu mulut, cek cok, dengan Menko Maritim Jenderal Luhut Panjaitan di tenda pengungsian pinggiran danau Toba. Ketika itu Jenderal Luhut hadir mewakili pemerintahan Joko Widodo menyampaikan kebijakan kepada keluarga korban untuk menghentikan pencarian korban yang hilang. Retna berang dan memprotes di depan Jenderal Luhut. Media mencatat ada 164 orang korban tenggelamnya KM Sinar Bangun yang hilang di Toba, tidak ditemukan.
Sebelumnya, di era SBY, rumah Kak Ratna juga dijadikan sebagai salah satu markas untuk mengkonsolidasi gerakan menjatuhkan Pemerintahan SBY. Ratna pernah mengkritik SBY dengan menyebutnya sebagai presiden terburuk sepanjang sejarah. Saat itu, Ratna meminta SBY lengser dari jabatannya.
Namun, di era SBY, sikap Ratna yang keras menentang pengkhianatan kebijakan dan dugaan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah tidak mendapatkan reaksi balik dengan kekerasan yang keji, kejam dan biadab.
Kala itu, saya bersama Ratna, Adhie Massardi, Eggi Sudjana, Beathor Suryadi, Ricky Tamba, Adian Napitupulu, Roy Simanjuntak, Mustar Bonaventura, menggalang gerakan anti SBY dengan membentuk Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI). Kami kemudian menggelar mimbar bebas di depan YLBHI yang dihadiri juga oleh Gus Nuril. Beathor, Adian, Roy dan Mustar, mereka adalah aktivis ProDem yang terdepan menjatuhkan Soeharto, kini mereka ada di barisan pendukung Joko Widodo.
Pemerintahan Joko Widodo memang dikenal didukung barisan mantan aktivis mahasiswa dan aktivis LSM pro demokrasi di era Soeharto. Ratna berseberangan dengan mereka. Ratna terkenal anti banget sama pemerintahan Joko Widodo. Bersama Neno Warisman yang dikenal dengan barisan emak-emak kritis, mereka menggalang gerakan dengan tagar #2019GantiPresiden.
Ratna bukan aktivis kemarin sore, bukan aktivis dadakan model aktivis millenial era medsos yang muncul secara dadakan. “Aktivis millenial itu sangat instan, dibentuk secara instan dan bergerak secara instan, persis kayak tahu bulat yang digoreng dadakan dan dipasarkan dengan mobil bak terbuka”. Mindset aktivis millenial juga sangat kental dengan atraksi kekonyolan di medsos, tanpa landasan gagasan yang kuat dan mendalam.
Ratna berbeda, Ratna adalah seorang aktivis lawas yang sangat lantang menentang rezim Soeharto yang sangat otoriter ketika itu. Ratna bahkan pernah mendekam di penjara lantaran menyerukan perubahan untuk keadilan, kemanusiaan dan kebenaran. Kritik pedas Ratna di masa Orba juga disampaikan melalui karya seni. Salah satunya adalah pementasan monolog berjudul Marsinah Menggugat, sebagai respon keputusan pemerintahan Soeharto menutup kasus pembunuhan Marsinah.
Keberanian dan konsistensi Ratna Sarumpaet berbuah penghargaan The Female Special Award for Human Rights dari lembaga The Asian of Foundation of Human Rights. Sosoknya juga diabadikan dalam film dokumenter berjudul “The Last Prisoner of Soeharto” oleh ARTE, stasiun televisi Perancis dan Amnesty International.
Terakhir kali, pada tanggal 18 September 2018, saya kaget, terhentak, surprise dengan langkah politik Ratna Sarumpaet yang mempersoalkan pemblokiran rekening dalam mata uang US dollar, jika dirupiahkan sebesar Rp. 23,9. triliun. Rekening triliunan itu katanya milik seorang warga negara bernama Ruben P.S. Marey, katanya dana tersebut berasal dari donasi international untuk pembangunan di Papua.
Menurut Ratna, kasus yang dialami Ruben hanyalah satu dari tujuh kasus yang dilaporkan kepadanya. Ratna menuntut pertanggunjawan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan atas pemblokiran rekening warga negara tersebut. Ratna bahkan menyurati dan menelpon pejabat Bank Dunia untuk menklarifikasi keberadaan rekening tersebut.
Bagi saya, kasus pemblokiran rekening yang diungkap Ratna tersebut bukanlah masalah yang sederhana dan sepele. Dapat diduga terkait dengan penanggungjawab projek di Papua di dalam Pemerintahan. Apakah ada yang “kebakaran kantong” dari langkah Ratna tersebut?
Ratna Dianiaya Secara Biadab
Dan, hari ini media on line dan media sosial, beredar kabar yang disertai photo Kak Ratna bengkak dan lebam. Ratna Sarumpaet yang berani, kritis dan konsisten itu dianiaya secara kejam, keji dan biadab oleh tangan-tangan kuasa kegelapan yang fasik, yang terganggu dengan langkah dan sikap politik Ratna. Katanya Ratna dianiaya tanggal 21 September yang lalu, lantaran trauma, baru diumumkan sekarang.
Bagi saya, musibah yang dialami oleh Ratna adalah teror biadab yang tidak hanya ditujukan kepada Ratna pribadi. Tujuan utamanya selain menghentikan langkah Ratna, adalah untuk meneror aktivis yang kritis kepada pemerintah, tentu agar tidak ada lagi yang berani bersikap kritis terhadap kejahatan dan penyelewengan yang terjadi.
Kasus penganiayaan Ratna ini harus segera diusut tuntas. Pelaku, dalang dan motifnya penganiayaan juga harus diungkap tuntas. Kita menunggu para aktivis pro demokrasi dan HAM yang saat ini menjadi pendukung Joko Widodo itu berbuat untuk mengungkap kasus ini. Tidak hanya itu, kasus pemblokiran rekening yang disuarakan Ratna juga harus diusut dan diungkap tuntas.
Tentu menjadi keprihatinan kita, kenapa demokrasi justru dibungkam di era pemerintahan sipil produk demokrasi. Kenapa pemerintahan sipil yang katanya pro demokrasi, justru membiarkan pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang berbeda pandangan politik?
Hingga kini, sejumlah catatan pelanggaran demokrasi dan HAM terjadi di era pemerintahan Joko Widodo yang menjadi perhatian dan catatan kita, diantaranya penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, teror tembakan liar menyasar rumah sejumlah politisi, kriminalisasi aktivis yang dituduh makar.
* Haris Rusly Moti, teman seperjuangan Ratna Sarumpaet dan Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998, Yogyakarta.