Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak teliti dengan adanya tiga versi dalam aturan libur nasional Pilkada serentak.
“Sekarang sudah jadi kebiasaan menandatangani tapi dilihat isinya dan ini terjadi terkait libur nasional pilkada,” kata pengamat politik Muhammad Huda kepada suaranasional, Rabu (27/6).
Menurut Huda, berbagai aturan yang tidak dilihat ketika mau menandatangi menandakan Presiden Jokowi bukan orang yang profesional. “Kalau seorang profesional dibaca secara teliti. Jika ada pernyataan yang membingungkan dan tidak jelas ditanyakan,” ungkapnya.
Kata Huda, di sekitar Jokowi itu menganggap mantan Wali Kota Solo itu orang yang sempurna sehingga tidak ada yang mengingatkan. “Saat ini narasi yang dikembangkan Jokowi itu manusia super tanpa salah dan sempurna,” jelasnya.
Huda mengkhawatirkan, Jokowi yang dinarasikan manusia super bahkan dipuji secara berlebihan bisa membahayakan bagi demokrasi. “Memuji berlebihan tidak baik dalam demokrasi,” pungkasnya.
sebelum Keputusan Presiden Nomor 15 itu diumumkan secara resmi oleh Jokowi, masyarakat sudah terlebih dahulu menerima salinan aturan soal libur nasional. Masalahnya, ada dua versi salinan keputusan presiden yang beredar. Dua-duanya sama-sama menyinggung soal 27 Juni 2018 sebagai libur nasional. Perbedaan hanya terletak di nomor surat.
Versi pertama adalah Keppres Nomor 48 Tahun 2018. Juru Bicara Istana Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo bahkan mengamini adanya Keppres Nomor 48. Belakangan, Johan meralat nomor keppres tersebut. “Ada perbaikan nomor keppres,” katanya.
Adapun versi kedua adalah Keppres Nomor 14 Tahun 2018. Salinan sebanyak 3 lembar dalam format PDF dari Humas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi, pada Senin sore. Saat dikonfirmasi kepada Johan Budi, nomor keppres itu dinyatakan palsu.
Versi ketiga adalah Keppres Nomor 15 Tahun 2018 yang dianggap sebagai versi yang benar. Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin pun menyebutkan nomor keppres tersebut dalam siaran tertulisnya.