Intelijen masuk kampus di era Rezim Joko Widodo (Jokowi) menandakan saat ini kembali ke Orde Baru (Orba) di mana adanya pelarangan kebebasan berbicara dalam forum akademik.
“Alasan mengada-ada dengan mempersilahkan intelijen masuk kampus untuk mencegah radikalisme dan terorisme,” kata pengamat politik Muslim Arbi kepada suaranasional, Selasa (26/6).
Kata Muslim, isu radikalisme dan terorisme masuk kampus hanya kedok untuk mengamati suara kritis mahasiswa. “Mahasiswa itu sangat rasional, mengkaji ideologi dunia termasuk Islam maupun ideologi lainnya masih dalam ranah akdemik,” jelas Muslim.
Muslim mengatakan, kalau Rezim ini menganggap kampus dimasuki radikalisme maka logika itu bisa berlaku kampus yang menghasilkan koruptor.
“Para koruptor itu lulusan perguruan tinggi, apalah lantas kita sebut kampus tersebut penghasil koruptor. Kalau istilahnya Rocky Gerung, cara berfikir seperti itu penuh kedunguan,” papar Muslim.
Muslim mengatakan, selama ini pelaku terorisme yang berasal dari kampus tidak pernah ada. “Yang ada di kampus itu hanya wacana dan dialetika. Kenapa seperti ini ditakutkan penguasa dengan tuduhan radikalisme dan mengarah terorisme,” jelasnya.
Kata Muslim, pemerintah tidak perlu mengikuti cara barat dalam memerangi terorisme dengan mencurigai aktivis Islam. “Pengajian di kampus itu bukan radikalisme maupun terorisme,” pungkasnya.
Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dipersilakan masuk kampus. Tujuannya, untuk mencegah penyebaran radikalisme di lingkungan kampus.
Hal itu disampaikan langsung oleh Forum Rektor Indonesia. Meski mengizinkan, aparat BIN dan BNPT harus berkoordinasi dengan pihak kampus terutama rektor dalam setiap kegiatan pengarahan yang diberikan ke mahasiswa.
“Kita membuka diri BNPT, BIN boleh masuk (kampus), tapi komunikasi dengan kampus terutama dengan rektor,” kata Ketua Forum Rektor Indonesia Dwia Aries Tina di Kantor Kemenristek Dikti, Senayan, Jakarta, Senin (25/6).