Rezim Joko Widodo (Jokowi) dan pendukungnya yang memaksakan 20 persen suara jumlah kursi di parlemen 2014 untuk Pilpres 2019 menyebabkan perpecahan dan gesekan sesama rakyat.
“Design politik pilpres berbarengan dengan syarat 20 persen suara pemilu 2014 adalah biang keladi suasana bipolar dan perang tagar. Konsekuensi bagi siapa menabur angin angin menuai badai,” kata politikus Partai Demokrat Andi Arief di akun Twitter-nya @andiarief_
Kata Andi, Jokowi dan partai pendukung syarat 20 persen dari hasil pemilu 2014 harus siap menghadapi gerakan-gerakan konstituaional dari maya sampai jalanan.
“Karena secara tidak sadar mengkutubkan Islam dan naaionalis. Bagi yang belajar ilmu politik tentu paham bahwa dibalik bipolarisasi ini Jokowi dan PDIP memanen 13 persen suara non muslim menjadi loyal voters. Tapi tidak memikirkan dampak hebatnya yang membahayakan persatuan,’’ tegasnya.
Kata Andi, seandainya saja memilih ‘politik waras’ di mana seriap parpol peserta pemilu tanpa syarat dapat mengajukan capresnya, keadaan tidak sepanas ini. Tidak akan ada kanalisasi dalam isu bipolar. Akibatnya lagi, rakyat bawah kehilangan program pro rakyat, kelas menengah mulai terjerembab isu agama dan nasionalis, sementara situasi ekonomi dalam cobaan berat. Dan mudah-mudahan an tidak meledak bersamaan.
“Kunci indonesia damai dalam peraatuan yang alamiah adalah design politik yang membuka semua multi untuk bisa mendapatkan saluran. Model kediktatoran parlemen ala zaman Jokowi telah merusak harmoni multi. Kanal yang kecil tak mungkin menampung air dalam volume besar,” pungkasnya.