Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menjalankan reformasi agraria sebagaimana janjinya sewaktu kampanye Pilpres 2014.
“Ada dua jalan untuk menyelesaikan pertanahan nasional yakni redistribusi dan legalisasi. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang terus mendorong legalisasi yang berwujud sertifikasi. Sedangkan redistribusi sebagai bagian dari reformasi agraria justru dilupakan,” kata Ketua Dewan Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin di Jakarta, Rabu (21/3).
Menurut Iwan, kebijakan Presiden Joko Widodo membagi-bagikan sertifikat tanah tidak bisa disebut sebagai reformasi agraria. Secara khusus dia menyebut sertifikasi tanah itu bukan bagian penting dari reformasi agraria. “Saya kira yang disebut ‘ngibul’ itu kementeriannya karena lebih banyak mendorong legalisasi ketimbang redistribusi untuk rakyat,” ujar dia.
Iwan mengatakan, reformasi agraria adalah tata cara yang ditempuh untuk memberikan tanah kepada orang yang tidak memiliki tanah atau punya tanah sedikit. Tujuan utamanya memberikan hak serta mengurangi ketimpangan.
Pada 2018, pemerintah menargetkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan 7 juta sertifikat tanah. Sedangkan sepanjang 2017, pemerintah memenuhi target pembuatan 5 juta sertifikat tanah. “Rata-rata petani kita punya tanah 0,3 hektare. Jumlah itu dilegalisasi tidak akan cukup untuk kesejahteraan rakyat, sementara UU Perlindungan Petani mengamanatkan petani minimal punya 2 hektare lahan,” kata Iwan.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Mohammad Hatta berpendapat, sertifikasi tanah justru memicu banyak persoalan di lapangan. Laporan yang kerap diterima Komisi II adalah pungutan liar, penekanan, hingga petani terjebak rentenir setelah memiliki sertifikat tanah. “Kami lebih sepakat land reform itu menyelesaikan sengketa-sengketa tanah yang ada. Ditata dulu, baru diberikan sertifikat,” ujar dia.
Mantan anggota Komnas HAM Hafid Abbas menyoroti kerisauan terkait sertifikasi tanah. Menurut dia, Indonesia tengah menghadapi persoalan ketimpangan sosial yang amat besar serta berpotensi mengancam negara jika dibiarkan.
Berdasarkan data yang didapatkan Hafid, sekitar 35 juta hektare lahan di Indonesia dikuasai segelintir orang. Pembagian sertifikat tanah hanya sebagai jalan pintas, sementara pemerintah tidak memiliki aturan pembatasan kepemilikan lahan. “Jangan sampai satu atau dua pengusaha punya tanah amat luas, sementara kepemilikan rakyat digusur. Wilayah sawit di Sumatera mendapat subsidi, sementara sertifikasi hanya secuil serta rakyat kehilangan tanah di daerah,” katanya.