Putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Chepy Iskandar, Jumat (29/9), mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto (setnov) atas penetapan status tersangka oleh KPK terkait dugaan korupsi KTP elektronik (KTP-el) terus menuai sorotan. Ketukan palu sidang yang memutuskan perkara itu dicurigai ada campur tangan Mahkamah Agung (MA).
Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natoesmal Oemar menduga, putusan yang memenangkan ketua DPR RI itu syarat pelanggaran independensi hakim. Putusan tersebut dicurigai tak luput dari peran MA yang memengaruhi kebijakan Hakim Chepy, sehingga penetapan tersangka Novanto dinyatakan tidak sah dan KPK patut menghentikan penyidikan.
“Sebelum putusan itu dibacakan, ada pertemuan Ketua MA Hatta Ali dengan Setya Novanto di suatu acara yang diduga berkaitan dengan proses praperadilan,” katanya, AhadĀ (1/10).
Beranjak dari itu, Erwin menilai bukan mustahil keduanya melangsungkan pertemuan selanjutnya di tempat lain yang tak diketahui publik. Dia berpendapat, Komisi Yudisial (KY) tak akan dapatkan hasil berarti atas pemantauan selama proses sidang hingga putusan karena tersandera kewenangan MA menindaklanjuti rekomendasi sanksi etik jika ada dugaan pelanggaran hakim.
“Isu independensi hakim dalam sejumlah putusan yang ganjil sulit didorong dan dikenakan sanksi etik sejak poin profesionalitas hakim telah diputuskan MA. Sebab itu, hakim kerap mengeluarkan putusan konyol dengan berlindung di balik argumen independensi hakim,” ujar Erwin.
Padahal, menurut dia, persoalan tidak profesional hakim dalam memutus perkara bagian dari pelanggaran etik. Erwin pun menduga KY tak bisa berbuat banyak atas pantauan yang dilakukan selama sidang praperadilan Setya Novanto berlangsung. Itu lantaran tak sedikit rekomendasi pelanggaran etik yang dikeluarkan KY kemudian tidak ditindaklanjuti oleh MA.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono berpandangan, putusan praperadilan Setya Novanto kental nuansa poilitik, termasuk dugaan intervensi pihak tertentu. Hakim Chepy Iskandar, menurut dia, tak lagi berpegangan pada prinsip keadilan karena proses praperadilan sudah di-setting secara sistematis untuk memenangkan Novanto.