Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) jangan sampai tercatat sejarah sebagai pembunuh madrasah diniyah dengan memaksakan lima hari sekolah atau full day school (FDS).
“Saya berharap Presiden Jokowi kritis dengan upaya Mendikbud, dan tidak menandatangani Perpres yang tidak lain Permendikbud, jika memang tidak mau dicatat sejarah sebagai pembunuh madrasah diniyah,” kata Sekretaris Lakpesdam PBNU Marzuki Wahid, Rabu (9/8) dikutip NU Online.
Kata Marzuki, membunuh madrasah diniyah berarti membunuh regenerasi Islam moderat ala Indonesia. FDS dengan demikian adalah alat pembunuh benih-benih Islam moderat rahmatan lil ‘alami.
Menurut Marzuki, patut dicurigai bahwa Mendikbud memiliki agenda sendiri yang berbeda dengan agenda Presiden. Perpres, yang sedang disusun sekarang ini, jangan-jangan hanya soal cashing saja, sementara isinya tidak jauh berbeda dengan Permendikbud ini.
Jika kecurigaan ini betul, lanjutnya, maka Perpres bukan solusi untuk menyelesaikan masalah FDS, terutama bagi pihak yang tidak setuju dengan kebijakan FDS. Akan tetapi, Perpres hanyalah cara mengalihkan atau menggeser konflik dari Mendikbud dengan NU dan pesantren kepada konflik Presiden dengan NU dan Pesantren di masa mendatang.
Jika begini cara Mendikbud, maka bukan tidak mungkin di masa mendatang, sejarah akan mencatat bahwa madrasah diniyah telah dibunuh dengan kekerasan simbolik oleh Mendikbud pada masa Presiden Jokowi, melalui Permendikbud No 23 Tahun 2017.
“Jika kalimat ini muncul dlm buku sejarah pendidikan Indonesia tentu sangat menyakitkan. Umat NU dan pesantren akan mengecam sepanjang masa,” tegasnya.