Masalah garam adalah persoalan yang sama atas sejumlah komoditas pangan. Bukan rahasia lagi, bahwa kebutuhan pangan kita banyak mengandalkan impor. Gula, kedelai, daging, bawang putih dan bawang merah, bahkan beras banyak diimpor. Alasannya, produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan nasional.
“Pesekongkolan jahat itu bermula dari sistem kuota impor yang dipelihara selama belasan bahkan puluhan tahun. Dan itu terjadi pada garam di Indonesia,” kata Direktur program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi kepada suaranasional, Rabu (2/8).
Kata Edy, Kisruh garam di negeri ini sekali lagi menunjukkan potret betapa buruknya para pejabat publik mengelola negara.
“Di mata rakyat awam, perkara garam sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin negara dengan garis pantai kedua terpanjang dunia setelah Kanada, bisa kekurangan garam?” papar Edy.
Ia mengatakan, dalam sejarah Indonesia merdeka yang menjelang 72 tahun, baru kali ini kita mengalami kelangkaan garam.
“Kalau pun bisa didapatkan, harganya meroket secara tidak wajar. Akibat langkanya pasokan, harga garam naik dua kali bahkan lima kali lipat daripada harga normal,” kata Edy.
Selain itu, Edy mengatakan, untuk mengatasi masalah garam perlu dicari pejabat yang mampu mengenali masalah serta mencari solusi yang tepat dan cepat. Setelah itu, dia punya leadership yang kuat untuk mengawal sekaligus memastikan kebijakan yang diambil bisa di-delivery.
“Satu hal yang paling penting dan mutlak dimiliki pejabat publik, harus bersih dan berintegritas tinggi. Hanya orang-orang yang seperti ini yang bisa disebut sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dia tidak memiliki kepentingan dari tiap keibjakan yang dibuat. Di kepala dan hatinya hanya ada tekad berbuat semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat,” pungkas Edy.