Daya beli masyarakat menurun karena kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti menaikkan BBM, mencabut subsidi listrik.
“Jokowi yang memukul daya beli masyarakat menaikkan harga bahan bakar minyak di awal pemerintahan,” kata pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng dalam pernyataan kepada suaranasional, Kamis (20/7).
Kata Salamuddin, menaikkan harga BMM merupakan tindakan super konyol pemerintah Jokowi karena pada saat itu harga minyak mentah sedang jatuh.
“Justru negara-negara lain menggunakan kesempatan itu untuk menekan biaya produksi, menekan harga, sekaligus mengangkat daya beli yang tengah jatuh, yang merupakan masalah ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar negara,” jelas Salamuddin.
Menurut Salamuddin, Pemerintah Jokowi lebih dungu lagi menaikkan harga listrik hampir setiap bulan sementara harga energi primer jatuh.
“Kebijakan ini telah memukul daya beli dan sekaligus melipatgandakan inflasi yang terus ditutup-tutupi dengan manipulasi statistik,” jelasnya.
Salamuddin mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang terjadi sekarang hanya ditopang oleh tambahan utang pemerintah yang bernilai lebih dari Rp 1000 triliun dalam 2,5 tahun terakhir, dan kemungkinan Rp 1500 triliun dalam 3 tahun anggaran.
Sandaran ekonomi pada utang tidak akan berdampak pada penerimaan pajak uang yang berarti. Pada tahap selanjutnya utang akan menjadi beban fiskal.
Sementara, utang tidak digunakan sebagai belanja dalam kegiatan yang menciptakan multiplier effect terhadap ekonomi dalam negeri. Utang sebagian besar digunakan untuk membeli barang-barang impor yang menciptakan dampak berganda bagi keuntungan bagi negara lain.
Kata Salamuddin, ambruknya penerimaan pemerintah sekarang yang menimbulkan defisit hingga 2,92 persen PDB, dugaan saya lebih dari 3 persen PDB, adalah karena ulah pemerintah sendiri, yakni membongi rakyat dan menipu diri sendiri setiap hari.
“Kalau mau keadaan membaik cobalah bersikap jujur dan jangan suka menipu,” kata Salamuddin.