Nahdatul Ulama (NU) dan Front Pembela Islam (FPI) memiliki persamaan serta perbedaan dalam menjalankan dakwah di Indonesia serta kedua ormas itu berpotensi aliansi strategis.
“Titik temu dan titik beda NU dan FPI bisa dilihat dari tiga matra, yaitu âmaliyyah, fikrah, dan harakah,” kata Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M. Kholid Syeirazi dalam artikel “NU dan FPI dalam Tiga Matra”.
Menurut Kholid, secara ‘amaliyyah ubûdiyyah, tradisi NU dan FPI sama: sama-sama pelaku tradisi, sama-sama ‘pengamal bid’ah’. NU qunut, FPI qunut. Tarawih–nya sama-sama 20 rakaat. Sama-sama gemar shalawatan, tahlilan, dan ziarah kubur. Shalawatannya sama-sama pakai kata ‘sayydina’. Jelas kedua-duanya bukan penganut Islam puritan.
“Karena itu, FPI pasti tidak cocok dengan aliran Islam yang mengusung agenda purifikasi. Dalam soal ini, FPI akur dengan NU dan ‘bentrok’ dengan Wahabi, HTI, Islam modernis, dan aliran lain yang agendanya adalah memberantas TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat),” ungkap Kholid.
Kata Kholid, secara fikrah, FPI akur dengan NU dalam fikrah dîniyyah (pemikiran keagamaan), tetapi ‘bentrok’ dengan NU dalam fikrah siyâsiyyah (pemikiran politik).
Dalam fikrah dîniyyah, NU dan FPI sama-sama pengikut ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dalam tawhid, pengikut Imam Syafi’i dalam fikih, dan al-Ghazali dalam tasawuf. Habib Rizieq Syihab (HRS), dalam berbagai kesempatan, menegaskan dirinya sebagai penganut Asy’ari dan menyerang i’tiqad Salafi-Wahabi.
Ia mengatakan, oleh para pengikut Wahabi, HRS juga kerap dituduh Syi’ah, sama seperti KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU.
Kholid mengatakan, dalam fikrah siyâsiyyah, FPI berseberangan dengan NU. NU menyatakan NKRI final, dalam bentuk sekarang. HRS menginginkan NKRI Bersyariah. Agendanya seperti Piagam Jakarta.
“Dalam isu ini, FPI ‘bentrok’ dengan NU dan punya titik temu dengan sejumlah ormas Islam yang mendukung agenda formalisasi syariat Islam, entah itu HTI, Wahabi, atau sebagian partai eks-Masyumi yang mengusung isu formalisasi syariat Islam,” jelas Kholid.
Dalam harakah (gerakan), NU dan FPI, kata Khalid cenderung ‘bentrok.’ Dakwah NU mengusung prinsip tawassuth (moderasi), tasâmuh (toleransi), tawâzun (proporsional), dan i’tidâl (tidak berat sebelah). NU juga meyakini prinsip التدريج في التشريع yaitu alon-alon, bertahap dalam dakwah dan mengamalkan syariat Islam.
NU mengayomi budaya dan meyakini syariat Islam bisa diterapkan secara swadaya oleh masyarakat, tanpa legislasi dan campur tangan negara. Pemberlakukan syariat Islam yang perlu campur tangan negara, seperti hudud, bisa diganti dengan hukuman lain yang bisa diterima semua pihak.
“Dalam harakah, FPI punya titik temu dengan gerakan Islam transnasional yang mengusung agenda formalisasi syariat Islam. FPI juga resisten dengan adopsi budaya lokal sebagai medium dakwah. Karena itu, HRS dengan keras menolak diskursus Islam Nusantara dan memelesetkannya dengan istilah yang kurang sedap,” jelas Kholid.
Ia mengatakan, dibanding kepada ormas Islam puritan, FPI lebih dekat secara ‘amaliyyah’ dengan NU dan karena itu punya potensi untuk beraliansi strategis.
“Di sebuah tayangan youtube, yang direkam dari ceramah beliau, HRS bilang FPI bukan orang lain. FPI adalah anak NU yang bandel,” pungkas Kholid.