Pemilihan rektor atas konsultasi Presiden sebagai upaya Rezim Jokowi membungkam suara kritis dari kalangan kampus.
“Alasan kekhawatiran ISIS, pemilihan rektor atas konsultasi Presiden alasan yang mengada-ada. Ini pembungkaman suara kritis kampus,” kata pengamat politik Muslim Arbi kepada suaranasional, Jumat (2/6).
Menurut Muslim, Presiden Jokowi bisa menolak ataupun menyetujui rektor yang diusulkan pihak kampus.
“Jokowi ingin mencengkeram kekuasan melalui rektor di kampus agar universitas tidak bersuara kritis terhadap pemerintah,” papar Muslim.
Kata Muslim, Jokowi punya harapan, jika rektor yang terpilih sesuai pesanan Istana, maka mahasiswanya tidak demo atau bersuara kritis.
“Kalau dalam politik mengendalikan dari kepalanya dulu. Justru kebijakan Jokowi makin memunculkan suara protes dari kampus dan mahasiswa itu sendiri,” jelas Muslim.
Menurut Muslim, cara yang dilakukan Rezim Jokowi mirip di era Orde Baru.
“Kalangan mahasiswa akan terus bersuara atas kebijakan tersebut,” pungkas Muslim.
Tjahjo Kumolo mengatakan, Presiden Jokowi sebagai tempat konsultasi untuk pemilihan rektor.
“Dikonsultasikan kepada TPA yang dipimpin Bapak Presiden (Jokowi). Setelah hasil cek TPA dan KSN plus MenPAN dinyatakan clear, langsung disetujui bapak Presiden melalui TPA,” kata Tjahjo.
“Demikian juga rektor, melalui pembantu presiden yakni Menristek DIKTI, hasilnya dilaporkan kepada Bapak Presiden, sehingga Bapak Presiden tahu siapa Rektor Perguruan Tinggi karena dipilih Senat Perguruan Tinggi dan usul pemerintah lewat Mendikti,” sambungnya.
Tjahjo menyebut ada usulan pemilihan rektor harus dikonsultasikan kepada presiden. Hal tersebut dilakukan karena pernah ada satu kasus, seorang calon dekan yang hendak dilantik ternyata pengikut ISIS.
“Selama ini (pemilihan rektor) oleh Dikti, hasil komunikasi kami dengan Mensesneg dengan bapak presiden, Pak Mendikti, saya kira terakhir harus dari bapak presiden,” terang Tjahjo