Bersamaan dengan perkembangan zaman yang semakin cepat, beragam profesi muncul sebagai imbangan dari laju zaman. Beberapa di antaranya adalah pilot, sopir bus, sopir truk ekspedisi, dan jasa pengiriman antar pulau bahkan antar Negara. Semuanya adalalah respon terhadap perkembangan elemen peradaban manusia.
Namun di saat yang bersamaan, muncul juga pertanyaan seputar profesi baru tersebut dalam kaitannya dengan ibadah tertentu seperti shalat dan puasa. Beberapa di antaranya adalah pilot, sopir bus antar provinsi atau sopir truk ekspedisi, dan pekerjaan yang semisal dengannya.
Lalu bagaimana tinjauan fikih terkait dengan puasa bagi orang yang berprofesi sebagai sopir bus antar provinsi -misalnya- ? berikut bahasan singkatnya.
Sebagaimana kita ketahui, orang dengan profesi seperti ini dapat digolongkan sebagai musafir dan ia mendapat keringanan dalam menjalankan ibadah tertentu. Adapun terkait dengan puasa, Allah swt berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa yang sakit diantara kalian atau sedang bepergian, maka (wajib) menggantinya di hari yang lain [Q.S. al-Baqarah (2): 184].”
Berkaitan dengan ayat ini, Imam al-Maraghi mengatakan, orang yang sakit atau sedang safar wajib mengganti puasa yang meraka tinggalkan di hari yang lain.
Berkaitan dengan sakit, sebagian besar ulama mensyaratkan sakit yang diderita adalah sakit keras yang menyebabkan penderita sulit untuk berpuasa.
Hal ini didasarkan pada ayat “Allah mengehendaki kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesukaran [Q.S. al-Baqarah (2): 185].” Namun sebagian ulama -seperti Ibnu Sirin, ‘Atha, dan Imam al-Bukhari- mengatakan, sakit apapun dapat menjadi rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa. Sebab bisa jadi puasa tidak membuatnya berat namun memberi dampak buruk bagi orang yang sakit.
Hal ini dapat menjadi sebab penyakit bertambah parah atau masa penyembuhan menjadi lebih lama. Selain itu, menetapkan kadar “kesukaran” terhadap sakit adalah sesuatu yang sulit, dan mengetahui akibatnya (jika yang sakit berpuasa) adalah lebih sulit lagi (lihat Tafsir al-Maraghi, II: 71). Adapun untuk saat ini, orang yang sakit bisa berkonsultasi ke tenaga ahli jika hendak menjalankan puasa terkait dengan dampaknya terhadap penyakit yang sedang diderita.
Terkait dengan jarak, terdapat perbedaan ulama di dalamnya. Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, al-Laits, al-Auza’i dan lainnya mengatakan, tidak boleh melakukan qashar shalat dan membatalkan puasa (wajib) kecuali telah menempuh jarak 2 marhalah (kurang lebih 80 km).
Namun Imam Abu Hanifah dan ulama Kufah berpendapat 3 marhalah (sekitar 120 km). Imam al-Bukhari membuat bab dalam shahihnya dengan judul “Bab tentang berapa jarak (safar) yang dibolehkan qashar shalat; nabi menyebutkan perjalanan selama sehari semalam. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan membatalkan puasa (wajib) jika menempuh perjalanan sejauh 4 burd atau 16 farsakh (sekitar 80 km)” (lihat al-Awsath karya Ibnu Mundzir, IV: 346-351, Fath al-Bari, II: 566-568).
Adapun pendapat di atas disandarkan pada riwayat berikut:
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Dari Syu’bah, dari Yahya bin Yazid al-Hunaiy, ia berkata; Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang (perjalanan yang membolehkan) qashar shalat, lalu ia berkata: ‘Dulu, apabila Rasulallah saw keluar (melakukan safar) sejauh 3 mil atau tiga farsakh –Syu’bah ragu dalam hal ini- maka beliau shalat sebanyak dua rakaat (pada shalat wahib yang empat rakaat) [H.R. Muslim (691), Abu Dawud (1201), Ahmad (12313), Ibnu Abi Syaibah (8123). Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth].”
Terlepas dari perselisihan ulama, hal yang perlu diingat adalah puasa merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf. Sehingga semaksimal mungkin untuk ditunaikan. Isyarat ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan puasa adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q.S. al-Baqarah (2): 184].”
Oleh karena itu, bagi profesi seperti sopir, pilot, nahkoda kapal dan yang sejenisnya mendapat keringanan dari Allah untuk mengqasar shalat dan tidak berpuasa jika -minimal- menempuh jarak 80 km. Namun bagi yang merasa tidak ada kesulitan untuk menjalankan puasa, maka sangat dianjurkan untuk melakukannya terlebih jika seseorang hampir selalu melakukan perjalanan sepanjang tahun dan sulit mencari waktu untuk mengqadla puasa yang tertinggal.
Namun apabila ia merasa berat untuk melakukannya dan khawatir jika tetap puasa akan membahayakan diri dan para penumpang -misalnya- maka ia boleh untuk berbuka ketika merasa berat, bukan diniatkan sejak awal untuk tidak berpuasa (lihat Syarh Muntaha al-Iradat, I: 478, Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb, III: 1230, dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, X: 233). Wallahu ‘alam bi ash-shawab.
Sumber: tongkronganislam.net