Warga Bekasi yang menolak gereja Santa Clara bukan bentuk intoleran karena harus ada kesepakatan dari warga setempat yang tercantum SKB 3 Menteri Skep nomor 06 dan 08 Tahun 2006.
“Tentang pendirian rumah ibadah sudahkah penuhi syarat yang telah disepakati tersebut? Kalau belum ya dipenuhi jangan mudah menuduh intoleran,” kata Dewan Pakar ICMI Anton Tabah Digdoyo kepada suaranasional, Sabtu (24/3).
Kata Anton, SKB 3 Menteri tentang pendirian tempat ibadah sangat wajar dan jauh lebih ringan pernyaratannya dibandingan dengan negara lain.
“Di negara-negara lain untuk mendirikan masjid sangat sulit bahkan dengan tandatangan puluhan ribu orang di sekitarnya,” papar Anton.
Anton mencontohkan Ground Zero bekas gedung WTC dibeli umat Islam New York sampai sekarang tidak bisa dibuat masjid. “Padahal Presiden AS saat itu Barack Obama sudah setuju tetapi masyarakat New York belum setuju,” jelas Anton.
Menurut Anton, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia buat rumah-rumah ibadah adama lain relatif sangat mudah hanya dengan tanda tangan 60 KK sampai 90 KK dan lain-lain.
“Contoh lain tentara, polisi muslim di negara-negara minoritas muslim tidak bisa menjadi jenderal apalagi jabatan-jabatan strategis,” ungkap Anton.
Ia mengungkapkan, di Indonesia negara muslim terbesar di dunia di mana tentara maupun polisi non muslim banyak sekali menduduki jabatan strategis. “Mereka harap jangan meminta seperti pepatah diberi hati meminta jantung,” pungkas Anton.
Demonstrasi yang dilakukan massa dari Majelis Silaturahmi Umat Islam Bekasi sudah kesekian kalinya. Bahkan, demo yang dilakukan sempat memblokir Jalan Raya Ahmad Yani di depan kantor Wali Kota Bekasi. Namun, kali ini unjuk rasa yang berlangsung di depan gedung gereja Santa Clara di Jalan Lingkar Utara, berlangsung ricuh.
Perwakilan dari demonstran, Imran Nasution, mengatakan aksi demonstrasi dilakukan karena pembangunan Gereja Santa Clara tidak beres perihal proses perizinannya. “Seperti pemalsuan tanda tangan persetujuan dari warga,” kata Imran, Jumat (24/3).