Prof. Taruna Ikrar, guru besar Neurobiologi – Universitas California – Amerika Serikat, calon penerima nobel, setelah mengamati perilaku dan retorika Ahok selama menjabat Gubernur Jakarta, menyatakan, dari sudut pandang neurosains, Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya.
Demikian artikel yang dikutip dari “Neuropolitic dalam Pilkada DKI Jakarta” oleh Bang Sem.
Menurut Taruna, tiga metode khas yang tepat digunakan untuk hal itu : Performance emotions – performa emosinya yang mengindikasikan ketidakstabilan kimia otak di dalam tubuhnya; Unstable less empathy – ketiadaan empati terhadap persoalan sosial yang potensial menjadikannya seorang yang tidak mampu berlaku adil dalam makna sesungguhnya, akibat hambatan sublimic otak; dan, Wild decision – proses pengambikan keputusan yang tidak menyertai pertimbangan-pertimbangan matang, terutama fungsi insaniahnya.
“Dari ketiga hal tersebut, Ahok termasuk seseorang yang ketika memperoleh otoritas besar akan sangat berbahaya, karena secara sadar bisa melakukan sesuatu yang tak lazim untuk kepentingan menunjukkan dirinya serba positif dan orang lain serba negatif,” ungkap Taruna.
Lanjut Taruna, termasuk mengekspresikan emosi dengan kata-kata kotor. Ada yang salah dalam sistem interaksi logical kognitif dan emosinya. Hal ini menunjukkan, Ahok mengalami disorder personality.
Kata Taruna dalam artikel itu menyebutkan, dengan kondisi demikian, Ahok selalu cenderung memutar balik realitas. Misalnya, mengesankan seolah-olah dirinya korban rasisme, padahal dia sendiri yang rasis dan secara sadar mengembangkan rasialisme. Dengan cara ini dia dapat menjadi pemicu terjadinya friksi dan konflik sosial.
“Dengan kondisi kepribadian yang disebabkan ada persoalan di otaknya, Ahok mudah menuding orang dan kelompok lain sebagai fundamentalis untuk menutupi fundamentalisme paradoksal yang melekat pada dirinya,” paparnya.
Kata Taruna, gangguan neurobiologis Ahok juga memicu dirinya yang sangat mudah mengklaim kejujuran, padahal belum terbukti dia jujur, seperti dia mengklaim seolah-olah dirinya tidak korupsi, tetapi memberi peluang bagi lingkungan sosial terdekatnya untuk melakukan tindakan koruptif.
“Dalam situasi demikian, dia mendorong atau menciptakan situasi agar dirinya selalu menjadi pusat perhatian dalam polemik dan perdebatan sosial, dari berbagai sudut pandang,” ungkapnya.