Praktik culas dilakukan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama (Ahok) pada kasus reklamasi teluk Jakarta untuk memperkaya diri. Dengan dalih menggunakan hak diskresi, Ahok ini telah membarter pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
“Ahok mengklaim proyek pengurang kontribusi tambahan itu dilakukan berdasar wewenang
diskresi yang dimiliki. Sampai di sini ada perbedaan mendasar prakik dana nonbjeter antara Ahok dan Rezim Orba,” kata Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi kepada suaranasional, Jumat (15/7).
Kata Edy, Ahok mengakui, ketika diskresi diputuskan pada 2014, memang belum ada dasar hukumnya. Sedangkan di zaman Orba, ada payung hukumnya, yaitu Inpres
dan Keppres.
“Tapi terlepas ada dan (apalagi) tidak ada dasar hukumnya, dana nonbujeter adalah prakik penyelenggaraan keuangan negara yang serampangan dan berbahaya. Dana nonbujeter telah menabrak pasal 3 ayat (1) UU No. 17/2003, yang mengharuskan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan,” kata Edy.
Kata Edy, apa yang dilakukan Orba dan Ahok jelas melanggar prinsip-prinsip keuangan negara yang baik. Tidak transparan, tidak taat pada peraturan perundang-undangan, tidak efisien, tidak ekonomis, tidak efekif, dan tidak transparan.
“Kalau semua prinsip tersebut dilabrak, bagaimana mungkin kita bisa berharap para pejabat publik akan bisa mempertanggungjawabkan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan,” jelas Edy.
Edy mengatakan, yang dilakukan Ahok jauh lebih buruk dan lebih serampangan ketimbang Orde Baru.
“Para pejabat publik harus berhenti dari praktik nonbujeter yang sama sekali tidak elok. Kalau Indonesia mau menjadi negara yang modern, transparan, dan berkeadilan, tidak bisa tidak, ya harus menerapkan sistem pengelolaan keuangan negara yang benar,” ungkapnya.