Perusahaan penerbangan Lion Air mengajukan penundaan 93 rute penerbangan selama satu bulan, dari 18 Mei hingga 18 Juni 2016 dengan alasan low season. Mereka mengklaim biasanya penerbangan sepi selama bulan puasa.
Tentu saja, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan dari kalangan pihak terlebih lagi perusahaan milik Rusdi Kirana dan Kusnan Kirana dikabarkan mengalami kesulitan keuangan.
Pembelian pesawat Lion Air dari dua pabrikan dunia Airbus dan Boeing disinyalir memakan biaya sekitar Rp 500 triliun. Lion Air, pada 2011, telah memesan 234 pesawat dari Boeing senilai USD 21,7 miliar.
Dalam aksi korporasi ini, Lion Air mendapat bantuan pembiayaan dari Exim Bank Amerika Serikat senilai USD 1,1 miliar.
Pengamat penerbangan Alvin Lie memperkirakan kejadian delay parah ini menjadi pukulan telak pada operasional maskapai berlogo singa merah ini. Betapa tidak, di luar kerugian uang, delay tersebut juga memperburuk imaji Lion Air di mata konsumen.
“Kejadian ini tanda ada masalah parah,” ujarnya saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Minggu (22/2).
Momok bagi ambisi Lion Air tak hanya itu, penurunan nilai tukar Rupiah saat ini juga merongrong maskapai milik anggota watimpres Rusdi Kirana ini. Lion Air diprediksi bakal semakin kesulitan melakukan pembayaran pembelian pesawat.
“Apalagi 90 persen penghasilan Lion Air berbentuk Rupiah. Sementara pembayaran menggunakan Dolar,” ucapnya.
Perlunya audit investigasi terhadap keuangan Lion Air, karena maskapai ini sering mengecewakan penumpang. Tapi pemilik Lion Air sudah dekat dengan Istana.
Sebelumnya, 18 November 2011, Rusdi meneken kontrak pembelian sebanyak 230 pesawat Boeing 737 senilai US$ 21,7 miliar atau lebih Rp 195 triliun.
Banyak kalangan terkaget-kaget menyaksikan pembelian besar-besaran yang dilakukan Lion. Bayangkan, dari dua kontrak itu saja, Lion harus merogoh dana sebanyak Rp 425 triliun lebih. Betul, dana sebesar itu diperoleh dari kredit yang dikucurkan konsorsium yang dipimpin BNP Paribas, Perancis (untuk Airbus) dan konsorsium yang dipimpin US Exim Bank (untuk Boeing).
Itu artinya, dari kedua bank itu, Lion punya utang sangat besar. Belum lagi dari pinjaman lain. Sebab, Lion juga harus memenuhi kebutuhan pesawat untuk Batik Air dan Wings Air, termasuk Malindo Airways di Malaysia.
Tentu saja, untuk mengembalikan pinjaman tersebut, Lion harus kerja keras. Saat ini, pertumbuhan Lion Air umumnya berasal dari penerbangan dalam negeri berbiaya murah. Lion Air juga melayani penerbangan rute internasional, termasuk Singapura dan Malaysia. Namun, sebanyak 90% kursi tetap diperuntukkan bagi penerbangan domestik.
Sejak tahun 2012, Lion Air menjadi pemimpin pasar udara di langit Indonesia. Meski menjadi pemimpin pasar domestik, namun banyak pihak meragukan keuntungan yang diperoleh Lion Air cukup besar. Sebab, persaingan di bisnis ini begitu ketat sehingga harga tiket murah belum tentu bisa menutupi pengeluaran.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi pernah mendesak pemerintah agar melakukan audit investigasi terhadap keuangan Lion.
Bahkan sumber di kalangan internal Lion Air menyebutkan perusahaan penerbangan swasta ini sedang mengalami kesulitan membayar utangnya. “Utang bisa dibayar tapi ada kesulitan karena dollar yang naik,” ungkap sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
Selain itu, sumber itu menyebut manajemen Lion Air masih menggunakan sistem lama di mana dipegang keluarga Rusdi Kirana dan Kusnan Kirana. “Untuk direktur keuangan dan jajarannya dipegang keluarganya dan kelihatannya masih manual. Harusnya sebesar Lion menggunakan ahli di bidangnya,” ungkapnya.
Sumber: “Lion Air dan Politik Rusdi Kirana” tulisan Satrio AN