Masalah kebakaran (Pembakaran) hutan bukanlah perkara baru, itu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun yang lalu. Untuk itulah sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berusaha untuk melakukan perbaikan demi perbaikan dalam rangka untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup termasuk lahan dan hutan.
Langkah pertama pemerintah adalah, merevisi UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, lalu kemudian mengeluarkan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dinilai akan lebih mampu untuk menanggulangi kondisi terkini dilapangan.
Berbekal payung hukum yang lebih kuat, aparat penegak hukum pun langsung melakukan langkah-langkah strategis. Tercatat pemerintah sudah beberapa kali melakukan gugatan pada perusahaan-perusahaan yang disinyalir terlibat dalam kasus pembakaran hutan.
Salah satu perusahan yang digugat waktu itu adalah PT Kallista Alam. Pemerintah melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup, memberi kuasa pada Jaksa Agung Basrief Arief dengan surat kuasa khusus Nomor 01/MEN.LH/09/2012 tertanggal 18 September 2012, untuk melayangkan gugatannya.
PT Kallista Alam, yang bergerak di bidang kelapa sawit ini didakwa telah melakukan pembakaran seribu hektar lahan gambut di Aceh, sehingga menimbulkan kerusakan pada hutan yang tercatat sebagai salah satu hutan warisan dunia itu.
Pengadilan Negeri Meulaboh kemudian menghukum PT Kallista Alam dengan denda Rp 366 miliar. Dengan perincian Rp 114 miliar untuk ganti rugi materiil dan sisanya untuk biaya pemulihan lahan yang telah terbakar.
Keputusan PN meulaboh pada 28 November 2013 itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada 15 Agustus 2014. Lalu pada 28 Agustus 2015 lalu, MA menolak Kasasi PT Kallista Alam, hingga pada akhirnya Vonis ini tidak berubah dan memiliki kekuatan hukum yang tetap.
PT Kallista Alam juga akan dikenakan uang paksa dan diharuskan membayar kepada negara sebesar Rp 5 juta per hari, jika tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Tanpa blusukan dan kegaduhan, dan hanya dari balik meja kerjanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh sebagian kalangan, dinilai lebih baik dalam menanggulangi kebakaran hutan dan juga telah berhasil “menghukum” para penjahat lingkungan.
Semoga Pemerintah saat inipun akan mampu melakukan hal sama, demi kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup yang lebih baik untuk generasi kita di masa depan.
Berbeda di era Jokowi, Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH). Sebelumnya, kementerian menuntut ganti rugi sebesar Rp 2,6 triliun dan meminta dilakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar dengan biaya Rp 5,2 triliun.
Dalam amar putusannya, ketua majelis hakim Parlas Nababan menilai penggugat tidak dapat membuktikan unsur kerugian negara. “Kehilangan keanekaragaman hayati tidak dapat dibuktikan,” kata Parlas Nababan, Rabu, 30 Desember 2015. Dalam pertimbangan lainnya, majelis hakim menerangkan jika lahan bekas terbakar masih bisa ditanami dan ditumbuhi kayu akasia. Hal itu diketahui dari hasil uji laboratorium yang diajukan tergugat.
Masyarakat pun masih ingat gaya Jokowi blusukan masuk hutan yang terbakar tanpa menggunakan masker sehingga menimbulkan cibiran dari berbagai pihak karena bisa membahayakan kesehatan. Mungkin pencitraan Jokowi blusukan hutan yang terbakar dikalahkan oleh pembakar hutan.