SE Kapolri, Umat Islam Siap-siap Masuk Penjara

kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti (ANTARA)
kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti (ANTARA)

Terkait Surat Edaran (SE) Kapolri “ujaran kebencian” masyarakat perlu kritis, karena substansi SE tersebut potensial melahirkan masalah dalam kehidupan sosial politik masyarakat.

“Masyarakat yang bermoral beradab adalah dambaan semua orang di Indonesia. Dan tatanan beradab membutuhkan piranti berupa norma-norma adat atau dalam wujud regulasi,” kata Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya dalam pernyataan kepada suaranasional, Kamis (5/11).

Kata Harits, namun demikian sebuah ketentuan regulasi tidak boleh kemudian mengkebiri hak-hak dasar masyarakat untuk melakukan kritik atau amar makruf nahi munhkar kepada penguasa atau sesama anggota masyarakat.

“Sementara SE kapolri itu bukan regulasi atau norma hukum, namun itu tuntunan teknis bagi pihak aparat keamanan untuk menghadapi persoalan terkait ujaran kebencian. Justru disinilah titik krusialnya, karena SE itu potensial melahirkan blunder hukum dalam kehidupan sosial politik masyarakat karena SE bukan regulasi dan norma,” papar Harits.

Harits mengungkapkan soal substansi SE terkait diksi “ujaran kebencian” atau diksi “kebencian” dan “menyebarkan kebencian” itu sangat ambigu, tafsirnya bisa sangat subyektif tergantung kepentingan.

“Terlebih lagi obyek jangkauannya yang begitu luas, semisal untuk para khotib/pengkutbah, pengajian, ceramah agama, dakwah di media cetak maupun media online tentu ini akan melahirkan problem baru,” papar Harits.

Menurut Harits, kalau melihat munculnya SE dalam konteks konstalasi politik kenegaraan yang lagi didera banyak masalah dan bisa dibilang kondisi status quo cukup kritis maka SE ini tampak sekali motif kepentingan politik status quo memboceng disitu. “Status quo bernafsu menjelma menjadi rezim otoriter dengan alasan membangun keadaban,” jelas Harits.

Baca juga:  Pemuda Aswaja: Ustadz Yusuf Mansur Dukung Jokowi-KH Ma'ruf Amin