Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat Sosial dan Lingkungan
Banjir bandang yang kembali melanda sejumlah wilayah di Aceh bukanlah peristiwa alam semata. Ia adalah akumulasi panjang dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis, pembiaran terhadap eksploitasi hutan, serta keserakahan yang dibungkus atas nama pembangunan. Kayu-kayu gelondongan yang hanyut di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, menjadi saksi bisu bahwa hutan Aceh telah lama diperlakukan sebagai komoditas, bukan sebagai penyangga kehidupan.
Aceh dikenal sebagai bumi serambi Mekah, wilayah dengan kekayaan hutan tropis yang luar biasa dan sejarah panjang relasi harmonis antara manusia dan alam. Namun dalam beberapa dekade terakhir, relasi itu retak. Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan secara masif telah mengubah bentang alam Aceh. Dari hutan alam yang berlapis dan kompleks, menjadi hamparan monokultur yang rapuh secara ekologis.
Narasi yang kerap dibangun setiap kali bencana datang adalah bahwa banjir merupakan takdir atau kehendak alam. Pandangan ini keliru dan berbahaya. Banjir bandang adalah konsekuensi logis dari rusaknya daerah tangkapan air. Ketika hutan ditebang, tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Akar-akar pohon yang selama ini menjadi pengikat tanah hilang, dan hujan yang turun deras langsung berubah menjadi limpasan air yang menghancurkan apa pun di hadapannya.
Di Aceh, fakta di lapangan sangat jelas. Kayu gelondongan yang terbawa arus sungai bukan berasal dari halaman rumah warga, melainkan dari aktivitas pembalakan di kawasan hulu. Ini menunjukkan adanya keterhubungan langsung antara aktivitas industri kehutanan dan bencana di wilayah hilir. Sayangnya, keterhubungan ini sering diabaikan dalam pengambilan kebijakan.
HTI dan HPH kerap dibela dengan dalih legalitas. Benar, izin-izin itu sah secara administratif. Namun legalitas tidak selalu identik dengan keadilan ekologis. Hutan tanaman industri menggantikan hutan alam dengan tanaman sejenis yang tidak mampu meniru fungsi ekologis hutan asli. Keanekaragaman hayati hilang, siklus air terganggu, dan konflik dengan masyarakat adat tak terhindarkan.
Lebih jauh, praktik HPH di Aceh sering kali menyisakan persoalan serius: lemahnya pengawasan, pelanggaran batas konsesi, hingga dugaan pembiaran terhadap pembalakan liar. Negara hadir dalam bentuk izin, tetapi absen dalam perlindungan. Ketika bencana datang, masyarakat yang menanggung dampaknya, sementara korporasi berlindung di balik dokumen perizinan.
Yang paling menderita dari kerusakan hutan adalah masyarakat lokal. Mereka kehilangan lahan, sumber air bersih, dan rasa aman. Banjir bandang merusak rumah, sawah, dan infrastruktur desa. Dalam banyak kasus, bantuan datang terlambat dan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami.
Ironisnya, masyarakat adat dan lokal yang selama ratusan tahun menjaga hutan justru sering disingkirkan atas nama investasi. Kearifan lokal yang mengatur pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dipandang kalah modern dibandingkan kepentingan industri berskala besar. Padahal, justru komunitas inilah benteng terakhir penyelamatan hutan Aceh.
Sudah saatnya negara bersikap tegas. Evaluasi menyeluruh terhadap izin HTI dan HPH di Aceh harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Izin yang terbukti merusak lingkungan dan melanggar hak masyarakat harus dicabut. Tidak boleh ada kompromi atas nama pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang mengorbankan keselamatan rakyat.
Penegakan hukum lingkungan juga tidak boleh setengah hati. Setiap perusahaan yang terbukti berkontribusi terhadap kerusakan hutan dan bencana ekologis harus dimintai pertanggungjawaban, baik secara pidana maupun perdata. Tanpa sanksi tegas, kerusakan akan terus berulang.
Mengembalikan hutan Aceh bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan pula hal mustahil. Restorasi hutan harus menjadi agenda utama, bukan sekadar proyek simbolik. Rehabilitasi daerah aliran sungai, penguatan peran masyarakat adat, serta moratorium izin baru di kawasan hutan alam adalah langkah konkret yang harus segera diambil.
Hutan bukan hanya soal pohon, tetapi soal kehidupan. Ia menjaga air, udara, dan keseimbangan iklim. Ketika hutan Aceh rusak, yang terancam bukan hanya satu atau dua kabupaten, melainkan masa depan generasi Aceh secara keseluruhan.
Banjir bandang seharusnya menjadi alarm keras. Jika hutan tidak dikembalikan fungsinya, maka bencana akan menjadi rutinitas baru. Aceh tidak membutuhkan janji, tetapi keberanian politik untuk menghentikan keserakahan dan mengembalikan hutan kepada hakikatnya: penyangga kehidupan, bukan ladang eksploitasi.
Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: pembangunan untuk siapa, dan dengan harga apa? Jika jawabannya adalah penderitaan rakyat dan kehancuran alam, maka jelas arah pembangunan itu harus dikoreksi. Kembalikan hutan Aceh, sebelum semuanya terlambat.





