Kapolri Langgar Putusan MK, Presiden Prabowo Diam? Perpol 10/2025 Dinilai Bentuk Pembangkangan Konstitusi

Terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tertanggal 9 Desember 2025 menuai gelombang kritik keras. Aturan yang memperbolehkan anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, termasuk di 17 kementerian dan lembaga negara, dinilai sebagai bentuk pembangkangan terang-terangan terhadap konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kolumnis Tarmidzi Yusuf menilai langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tersebut mengejutkan sekaligus mencerminkan keberanian yang berlebihan. Pasalnya, hanya berselang kurang dari satu bulan sebelumnya, tepatnya 13 November 2025, MK telah mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang secara tegas melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil di luar institusi Polri, kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun.

“Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi pembangkangan konstitusional,” tulis Tarmidzi dalam kolomnya yang diterima redaksi, Sabtu (13/12/2025).

Putusan MK tersebut menguji Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam amar putusannya, MK membatalkan frasa penjelasan yang membuka ruang penugasan polisi aktif ke jabatan sipil atas dasar penugasan Kapolri. MK menegaskan, larangan tersebut mutlak demi menjaga netralitas Polri dan mencegah konflik kepentingan.

Baca juga:  Wartawan Senior: Prabowo Lebih Tunduk pada Presiden China daripada Menghormati Proses Hukum di MK

Namun, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 justru dinilai berjalan berlawanan arah dengan putusan MK dan undang-undang yang berlaku. Hal ini memunculkan pertanyaan besar di ruang publik: ke mana Presiden Prabowo Subianto?

Menurut Tarmidzi, Perpol tersebut tidak mungkin terbit tanpa melalui proses pengundangan di Kementerian Hukum. “Mustahil Presiden tidak mengetahui atau tidak dilapori. Menteri Hukum adalah pembantu Presiden,” ujarnya.

Ia mempertanyakan apakah Presiden Prabowo merestui kebijakan tersebut, atau justru sedang membiarkan Kapolri berada dalam jebakan politik. “Jika Perpol ini dicabut, legitimasi Kapolri akan semakin tergerus. Jika dibiarkan, wibawa konstitusi yang runtuh,” tulisnya.

Baca juga:  Elektabilitas tak Capai 40 %, Beathor: Ganjar akan Dievaluasi dan Digantikan Puan

Lebih jauh, Tarmidzi mengaitkan situasi ini dengan relasi kuasa pasca-Pilpres 2024. Ia menduga adanya faktor utang politik dan kompromi kekuasaan yang membuat Presiden berada dalam posisi sulit untuk bertindak tegas terhadap Kapolri.

“Apakah ini bentuk ketidakberdayaan Presiden setelah gagal mencopot Kapolri? Atau bagian dari politik dagang sapi dengan ‘partai cokelat’?” tanyanya.

Menurutnya, kondisi ini memperlihatkan wajah demokrasi yang tidak sehat, ketika undang-undang dan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dengan mudah diabaikan. Ia juga menyinggung ironi penegakan konstitusi yang dinilai tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Publik kini menanti sikap Presiden Prabowo. Desakan agar Perpol Nomor 10 Tahun 2025 dicabut terus menguat, seiring kekhawatiran bahwa pembiaran terhadap aturan tersebut akan menjadi preseden buruk bagi supremasi hukum dan demokrasi konstitusional di Indonesia.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News