Politikus Partai Demokrat, Rommi Irawan, melontarkan kritik keras terhadap sebagian kelompok habaib yang menurutnya kerap memicu provokasi, mencederai kebhinekaan, dan justru menjauhi uswah Nabi Muhammad SAW dalam tutur maupun tindakan. Pernyataan Rommy memantik perdebatan luas karena menyentuh langsung sensitivitas publik terhadap sosok habaib yang selama ini kerap dikultuskan sebagai keturunan Rasulullah.
Dalam keterangan di media sosial Rommy menegaskan bahwa klaim sebagian habaib yang menyatakan diri sebagai dzurriyah Rasulullah seharusnya disertai dengan akhlak, keteladanan, dan rasa tanggung jawab moral. Bukan justru tampil sebagai aktor yang menebar ujaran provokatif, memecah-belah masyarakat, atau memainkan politik identitas ekstrem.
“Jika benar mereka mengaku membawa darah Nabi, seharusnya yang diwariskan adalah akhlaknya, bukan kemarahannya. Selama ini yang kita lihat justru sebagian dari mereka lebih sering memprovokasi, menghasut, bahkan menyerang simbol negara,” ujarnya, Kamis (11/12/2025).
Rommi juga menyinggung maraknya klaim nasab, termasuk perdebatan tentang dasar genealogis yang kerap diperdebatkan di ruang publik. Menurutnya, klaim nasab itu tidak otomatis memberikan legitimasi moral untuk menghakimi negara, pemerintah, atau kelompok masyarakat tertentu.
Ia bahkan menyinggung perdebatan DNA haplogroup yang sering dipakai dalam argumen publik, meski menurut para ahli genetika diskursus tersebut tidak berdampak langsung pada integritas moral seseorang.
“Mau haplogroup apa pun, entah itu G atau yang lain, itu tidak ada kaitannya dengan hak untuk memprovokasi NKRI. Tidak ada manusia yang mendapatkan keistimewaan untuk merendahkan negara atau rakyat hanya karena mengaku keturunan siapapun,” kata Rommi.
Pernyataan itu sekaligus menyanggah kecenderungan sebagian pihak yang memanfaatkan sentimen garis keturunan untuk menaikkan posisi politik atau sosial. Baginya, nasab bukan alat legitimasi, melainkan amanah yang seharusnya dijaga melalui perilaku.
Rommi menilai bahwa ada kelompok habaib tertentu yang menggunakan mimbar agama sebagai wadah agitasi politik, menyerang pemerintah, menyebarkan hoaks, bahkan mengajak ketidakpatuhan terhadap hukum. Ia menegaskan bahwa praktik itu bertentangan dengan nilai besar dalam Islam, yaitu persatuan dan keteduhan.
“Yang kita lihat hari ini, sebagian mereka justru lebih mirip tokoh politik garis keras daripada pemuka agama. Retorikanya kasar, memecah-belah, dan seringkali jauh dari adab Nabi. Bagaimana masyarakat bisa meneladani jika bahasanya menghina, memaki, atau menghasut?”
Menurutnya, gaya provokatif ini tidak hanya merusak marwah agama, tetapi juga mengganggu stabilitas sosial, terutama di tengah menguatnya polarisasi politik pasca Pemilu maupun Pilkada.
Rommi menekankan bahwa negara harus hadir terhadap tindakan siapa pun—baik politisi, aktivis, maupun tokoh agama—yang menempatkan dirinya di atas hukum. Dalam konteks itu, ia meminta aparat tidak ragu mengambil langkah tegas untuk menjaga negara dari upaya provokasi.
“NKRI ini berdiri bukan untuk dihina. Ulama yang benar, habaib yang benar, pasti berdiri di depan untuk menjaga persatuan, bukan menggerusnya,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa kritik terhadap pemerintah sah dan dijamin oleh konstitusi, namun provokasi sektarian, ujaran kebencian, dan tindakan merendahkan kelompok lain merupakan pelanggaran hukum.
Di akhir pernyataannya, Rommi mengajak masyarakat untuk lebih cerdas melihat figur publik, termasuk tokoh agama yang kerap muncul di media. Ia mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh terjebak pada romantisme simbolik tanpa melihat rekam jejak dan perilaku sosial seseorang.
“Ulama itu diteladani karena akhlaknya, bukan karena sorbannya. Gelar habib itu mulia, tetapi kemuliaan itu runtuh jika digunakan sebagai alat memecah bangsa,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan tokoh agama yang menyejukkan, mencerdaskan, dan menghormati hukum, bukan yang menggunakan retorika kemarahan sebagai alat mobilisasi massa.





