Natal Bersama Sama Dengan Murtad Bersama

Oleh: Tarmidzi Yusuf
Aktivis Dakwah dan Sosial

Konstitusi Indonesia UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Islam juga sudah menegaskan kebebasan beragama. “Untukmu agamamu, untukku agamaku” [QS. al-Kafirun: 6].

Bahkan Islam menjamin tidak ada paksaan dalam beragama. “Tidak ada paksaan dalam agama” [QS al-Baqarah: 256].

Inilah prinsip toleransi yang digariskan oleh negara melalui UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) dan Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits.

Sebuah hadits menyebutkan, “Tidak ada paksaan dalam beragama, telah jelas yang benar dari yang sesat”. [HR. Abu Dawud].

Hadits ini mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun.

Bentuk toleransi yang sesungguhnya adalah seperti diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Sedangkan Islam mengatur toleransi dengan ummat beragama lain seperti tuntunan al-Quran surat al-Baqarah ayat 256, al-Kafirun ayat 6 dan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud.

Islam tidak melarang ummat beragama lain merayakan hari besar agamanya. Perayaan natal misalnya. Tapi Islam melarang ummatnya ikut merayakan Natal.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1981 menyatakan haram bagi umat Islam untuk mengikuti upacara perayaan Natal bersama.

Ikut serta dalam perayaan Natal bersama tidak boleh, dengan dasar bahwa perayaan Natal bersama menyerupai mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dikatakan oleh al-Albani rahimahullah; “Hasan shahih.” [Shahih Abu Dawud II : 761]

Perayaan Natal adalah perkara aqidah bukan perkara muamalah.

Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah (manusia biasa). Dia memberikan kepadaku Al-Kitab (Injil) dan menjadikanku sebagai seorang Nabi.’” [QS. Maryam: 30]

Dengan siapapun tanpa mengenal agama apapun, ummat Islam diperbolehkan bermuamalah dengan orang berbeda agama.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” [QS. Luqman: 15]

Adalah kekeliruan besar apabila ada pejabat negara yang menyebutkan perayaan Natal bersama Kementerian Agama sebagai penegasan tidak boleh ada sekat di antara sesama anak bangsa.

Menurut pejabat negara tersebut, keberagaman yang menjadikan Indonesia sebagai lukisan Tuhan yang indah tak boleh dirusak dengan ketidakharmonisan.

Apa yang disampaikan pejabat negara tersebut benar bila perayaan Natal bersama tidak mewajibkan pegawai Kementerian Agama yang beragama Islam untuk menghadirinya. Perayaan Natal bersama Kementerian Agama hanya mewajibkan untuk pegawai yang beragama Kristen.

Bila Kementerian Agama mewajibkan pegawai yang beragama Islam menghadiri perayaan Natal bersama telah menyalahi Konstitusi Indonesia Pasal 29. Dimana negara menjamin kemerdekaan beragama.

Dalam kacamata Islam, pegawai Kementerian Agama yang beragama Islam menghadiri perayaan Natal bersama sama halnya dengan murtad bersama. Mencampuradukkan perkara aqidah dengan muamalah.

Toleransi tidak berarti mengorbankan keyakinan beragama. Moderasi atau sikap pertengahan dalam beragama adalah “Untukmu agamamu, untukku agamaku”.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً (سورة البقرة: 143)

“Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian” [QS. al-Baqarah: 143].

Moderasi atau sikap pertengahan dalam beragama tidak mencampuradukkan agama Islam dengan agama lainnya.

Sikap pertengahan atau moderasi dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah subhanahu wata’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang Nabi ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang Nabi ajarkan.

Oleh karena itu, tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang menyuruh bermaksiat dan menyekutukan Allah.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa: 59]

Bandung, 19 Jumadil Tsani 1447/10 Desember 2025

Simak berita dan artikel lainnya di Google News