✒️ Oleh: Asruri Muhammad
(Pegiat Dakwah Muhammadiyah)
Persyarikatan Muhammadiyah sejatinya memiliki potensi kader yang sangat kuat jika dikelola dengan baik dan benar secara organisatoris. Secara umum, terdapat tiga pilar utama kader persyarikatan.
Pertama, pelajar dan mahasiswa di lembaga pendidikan Muhammadiyah — mereka adalah generasi awal yang mengenal nilai-nilai Islam berkemajuan melalui pendidikan.
Kedua, para alumni, yakni mereka yang telah menempuh pendidikan di amal usaha Muhammadiyah namun kini berkiprah di berbagai bidang kehidupan.
Ketiga, para pengurus struktural, baik di tingkat pimpinan persyarikatan, ortom (organisasi otonom), maupun AUM (amal usaha Muhammadiyah).
Dari ketiga pilar tersebut, salah satu yang sering luput dari perhatian dan belum dikelola secara optimal adalah para alumni.
Sebagaimana pernah saya singgung dalam tulisan “Agar Pelajaran Kemuhammadiyahan Tidak Sekadar Pengetahuan”, banyak alumni sekolah-sekolah Muhammadiyah yang merasa bangga terhadap almamaternya, tetapi minim kesadaran dan tanggung jawab sebagai kader persyarikatan. Kondisi ini patut menjadi perhatian serius bagi pengurus Muhammadiyah, baik di level pergerakan maupun lembaga pendidikan di lingkungan persyarikatan.
Menghidupkan Kembali Peran Alumni
Salah satu sebab utama mengapa potensi alumni belum terkelola dengan baik adalah minimnya sistem pembinaan lanjutan setelah mereka lulus. Banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang hanya menyiapkan siswa agar berprestasi secara akademik, namun belum menyiapkan mereka untuk menjadi kader persyarikatan setelah lulus. Akibatnya, semangat keislaman dan kemuhammadiyahan yang tumbuh selama di sekolah perlahan memudar ketika mereka memasuki dunia kerja atau perguruan tinggi di luar Muhammadiyah.
Padahal, alumni adalah aset strategis. Mereka tidak hanya membawa nama baik lembaga, tetapi juga berpotensi menjadi penggerak dakwah di tempat mereka berada. Jika jaringan alumni dikelola dengan baik, mereka bisa menjadi ujung tombak dakwah persyarikatan di masyarakat, di kampus umum, di dunia profesional, maupun di pemerintahan.
Sayangnya, hingga kini, ikatan alumni Muhammadiyah masih lemah secara ideologis dan organisatoris. Banyak yang berhimpun sebatas nostalgia, bukan dalam semangat gerakan. Padahal, idealnya, ikatan alumni berfungsi sebagai “jembatan kaderisasi lanjutan” — tempat para lulusan tetap berinteraksi dengan nilai, gerakan, dan cita-cita Muhammadiyah.
Karena itu, penting bagi lembaga pendidikan dan pimpinan persyarikatan untuk membangun jejaring alumni yang sistematis dan berbasis gerakan. Misalnya:
-Membentuk forum alumni kader Muhammadiyah di setiap daerah yang terhubung langsung dengan sekolah atau AUM asalnya
-Mengadakan program pembinaan kader alumni, seperti halaqah ideologi, pelatihan kepemimpinan, atau kelas dakwah profesional.
-Menyusun database alumni yang bukan hanya untuk kebutuhan seremonial, tetapi untuk memperkuat peran kader di berbagai lini kehidupan.
Dengan langkah-langkah tersebut, alumni tidak hanya dikenang sebagai “lulusan sekolah Muhammadiyah”, tetapi menjadi penyambung estafet gerakan yang meneguhkan jati diri persyarikatan di tengah masyarakat.
Tantangan Kaderisasi Alumni
Dalam melihat persoalan lemahnya keterikatan alumni dengan gerakan Persyarikatan, setidaknya ada beberapa faktor mendasar yang perlu dicermati.
Pertama, banyak alumni yang tidak memiliki pengalaman berorganisasi selama di sekolah atau kampus. Mereka menjalani rutinitas yang monoton: belajar, ujian, lalu pulang. Pola pikirnya sederhana — sekolah untuk nilai bagus, kuliah untuk ijazah, dan bekerja untuk gaji yang layak. Akibatnya, jiwa kepemimpinan dan semangat pergerakan tidak terbentuk.
Fenomena ini semakin diperparah oleh pandangan materialistik yang menilai kesuksesan semata dari capaian akademik dan ekonomi. Padahal, mereka yang aktif berorganisasi justru sering kali lebih matang secara mental, sosial, dan kepemimpinan. Tidak jarang, para aktivis yang dulunya “biasa saja” secara akademik justru lebih berkembang di dunia kerja maupun di masyarakat karena terbiasa berpikir strategis dan bekerja dalam tim.
Kedua, setelah lulus dan memasuki dunia kerja, banyak alumni yang terseret dalam kesibukan dan kerasnya kehidupan. Fokus mereka tersita oleh pekerjaan dan tanggung jawab keluarga, hingga tak sempat memikirkan untuk aktif kembali di Persyarikatan. Dalam situasi seperti ini, dakwah dan gerakan sering dianggap “urusan pengurus”, bukan tanggung jawab bersama kader.
Ketiga, minimnya komunikasi dan koordinasi antara pengurus Persyarikatan dan para alumni membuat potensi besar ini tidak pernah tergarap. Banyak alumni yang sebenarnya masih punya semangat ber-Muhammadiyah, namun tidak tahu harus mulai dari mana, atau kepada siapa harus terhubung. Akibatnya, hubungan antara lembaga pendidikan, pergerakan, dan alumni menjadi terputus.
Keempat, sebagian alumni tinggal di lingkungan yang kurang mendukung secara sosial dan ideologis. Misalnya di kompleks perumahan yang individualistik dan tidak memiliki komunitas keagamaan yang aktif. Akibatnya, mereka kehilangan “ekosistem” dakwah yang dulu mereka rasakan di sekolah atau kampus Muhammadiyah. Tidak ada kawan sevisi untuk berdiskusi, berjuang, atau sekadar menghidupkan kegiatan keislaman, sehingga semangat gerakan perlahan memudar.
Meneguhkan Kembali Peran Alumni
Sudah saatnya Persyarikatan Muhammadiyah memandang alumni bukan sekadar “lulusan” dari lembaga pendidikan atau “orang yang pernah bersekolah di Muhammadiyah”, melainkan sebagai kader potensial yang dapat memperluas medan dakwah dan memperkuat jejaring gerakan.
Mereka adalah “mata rantai penghubung” antara pendidikan dan masyarakat; antara ideologi dan realitas; antara nilai dan praksis. Jika potensi ini dikelola dengan visi kaderisasi yang jelas, alumni bisa menjadi duta-duta dakwah Muhammadiyah di berbagai profesi dan lingkungan.
Karena itu, pengurus Persyarikatan, lembaga pendidikan, dan ortom perlu merancang sistem pembinaan alumni secara berkelanjutan — tidak berhenti pada masa sekolah atau kuliah. Dibutuhkan sinergi antara sekolah, kampus, dan majelis kader di semua level untuk menciptakan ekosistem kaderisasi seumur hidup (life-long kaderization).
Sementara itu, para alumni sendiri perlu menyadari bahwa menjadi kader bukanlah status administratif, tetapi sikap hidup dan panggilan iman. Di manapun mereka berada — di dunia kerja, kampus, atau lingkungan sosial — mereka membawa misi amar ma’ruf nahi munkar dengan semangat Islam berkemajuan.
Pada akhirnya, keberlanjutan Persyarikatan tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak sekolah yang dimiliki, tetapi seberapa kuat kader yang lahir dari sekolah-sekolah itu tetap hidup, bergerak, dan berjuang setelah meninggalkan bangku pendidikan.[]




