Gelombang kegelisahan publik terhadap tingginya beban pajak kembali menguat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa yang menyatakan bahwa memungut pajak atas barang-barang kebutuhan pokok adalah haram hukumnya jika memberatkan masyarakat. Fatwa ini langsung mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk dari Direktur Lembaga Analisis Studi dan Kajian Publik (Lanskip) Abdul Rachmat Saleh, yang juga dikenal sebagai aktivis sosial dan advokat kebijakan publik.
Dalam keterangannya, Abdul Rachmat Saleh menilai bahwa fatwa tersebut pada dasarnya lahir sebagai refleksi dari tekanan ekonomi yang semakin dirasakan masyarakat kecil.
“Fatwa ini bukan hanya soal hukum agama, tapi suara kegelisahan umat yang selama ini diam. Banyak sekali beban pajak yang menumpuk di pundak rakyat—pajak rumah, pajak tanah, pajak kendaraan, belum lagi berbagai pungutan lain yang kerap muncul tiba-tiba di luar nalar,” ujarnya, Kamis (27/11/2025).
Menurut Abdul Rachmat, keluhan masyarakat kini sudah sampai pada titik jenuh. Di banyak daerah, warga setiap tahun menghadapi tagihan pajak yang datang ke rumah mereka seperti “hantu tahunan” yang sulit dihindari.
“Setiap tahun, warga biasa—yang pendapatannya pas-pasan—dipaksa menghadapi kewajiban pajak yang semakin tinggi. Ada yang sampai menunggak bertahun-tahun karena memang tidak sanggup. Negara seharusnya hadir dengan empati, bukan sekadar memungut,” tegasnya.
Ia juga menyoroti ironi saat pemerintah justru membuka peluang memajaki barang kebutuhan pokok, sementara “potensi pajak besar dari sektor-sektor yang selama ini aman dan nyaman” belum sepenuhnya tergarap.
“Ada sektor yang bisa dipajaki lebih optimal: sumber daya alam strategis, konglomerasi digital, dan aset-aset besar non-produktif. Kenapa justru rakyat kecil yang lebih dulu diincar?” katanya.
Abdul Rachmat juga mengangkat isu penting yang sering luput dalam diskusi kebijakan fiskal: masyarakat muslim kini harus menanggung dilema antara pajak dan zakat.
“Warga sering bertanya: kami sudah membayar zakat, kemudian tetap dibebani pajak yang besar. Mana yang harus diprioritaskan? Ini kegelisahan nyata di lapangan,” ujarnya.
Menurutnya, fatwa MUI memberikan isyarat serius bahwa negara perlu menata ulang kebijakan perpajakan agar lebih selaras dengan prinsip keadilan sosial dan tidak menabrak sensitivitas keagamaan.
“Negara dan umat tidak perlu bertentangan. Yang perlu dilakukan adalah harmonisasi. Jangan sampai masyarakat merasa mereka membayar dua kewajiban sekaligus, tapi tidak mendapatkan pelayanan publik yang layak,” tambahnya.
Ia menilai bahwa negara sebenarnya memiliki banyak ruang untuk meningkatkan penerimaan tanpa memukul kemampuan ekonomi rakyat. Abdul Rachmat menyebut beberapa sektor strategis yang bisa digarap lebih serius:
1. Pajak dari aktivitas ekonomi digital skala besar
2. Optimalisasi pajak kekayaan dan aset tak produktif
3. Penertiban kebocoran pajak dari kelompok berpendapatan tinggi
4. Perbaikan manajemen pajak perusahaan yang selama ini menjadi celah manipulasi
“Potensi pajak besar itu ada. Jangan malah mengejar masyarakat yang secara ekonomi paling rentan,” kritiknya.
Menurut Abdul Rachmat Saleh, langkah MUI tidak boleh dilihat sebagai intervensi politik, tetapi sebagai alarm etis dari lembaga moral bangsa. “Ketika lembaga keagamaan sampai harus turun bicara, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres di dalam sistem,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa dorongan MUI justru menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi, memperbaiki, dan menyusun ulang model pajak nasional agar lebih manusiawi, berkeadilan, dan mencerminkan semangat konstitusi.
“Masyarakat tidak anti pajak. Mereka hanya ingin keadilan. Mereka ingin pajak digunakan sebagaimana mestinya, bukan memberatkan yang lemah,” tegasnya.
Sebagai penutup, Abdul Rachmat Saleh meminta pemerintah merespons fatwa MUI dan suara masyarakat dengan hati-hati dan terbuka. Ini bukan sekadar polemik hukum agama, tetapi persoalan sosial dan politik yang menyentuh dasar kesejahteraan masyarakat.
“Fatwa ini adalah suara rakyat. Jangan diabaikan,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah segera melakukan dialog terbuka, mengkaji ulang kebijakan pajak pangan pokok, dan menyusun sistem perpajakan yang tidak lagi menjadi beban, melainkan alat untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara.





