(Esai Satire Tentang Republik yang Mahir Mengubur Nurani)
Oleh: Firman Tendry Masengi, Advokat / Penulis
“Mikul dhuwur mendem jero” dulu adalah etika kehalusan budi. Kini menjadi perisai kekuasaan—mantra sakral untuk menutup bangkai moral negara. Para penguasa dipikul setinggi langit meski berdiri di atas kubangan kebohongan, sementara nurani dan akal sehat justru dikubur hidup-hidup. Pemakaman itu berlangsung rapi, khidmat, dan penuh seremoni—seolah republik sedang memberi penghormatan terakhir kepada moral publik yang sudah lama mati namun baru hari ini kita resmikan kepergiannya.
Di negeri ini, adzan dari masjid berlapis emas bersahut dengan dentang lonceng gereja yang mengambang di udara pagi. Bau dupa dari vihara menyelinap bersama wangi sesaji pura. Begitu banyak simbol kesucian, namun republik ini tetap saja menjadi tanah subur bagi tipu muslihat yang bahkan iblis pun mungkin enggan meniru.
Entah sejak kapan rakyat digiring untuk percaya bahwa semua kebusukan ini adalah “takdir budaya.” Kita diajari menjunjung mereka yang di atas tanpa pernah menimbang apa yang sebenarnya dipikul. Padahal “yang di atas” itu sejak lama telah berubah menjadi penjaga kerakusan yang merayakan kekuasaan dalam upacara-upacara megah. Seperti buaya yang menyembunyikan bangkai di lumpur, para penguasa memendam kebenaran, mengubur luka rakyat, dan menenggelamkan jejak sejarah agar tak seorang pun lagi tahu kuburnya.
Di jalan-jalan kota, baliho raksasa memajang senyum pemimpin yang konon “turun ke rakyat.” Senyumnya manis, langkahnya bersih, dan tatapannya steril dari wajah kemiskinan. Di negeri ini, koruptor dipoles menjadi pahlawan; pelanggar HAM dimandikan sebagai patriot; sementara seorang ibu yang dua puluh tahun mencari anaknya dianggap gangguan narasi. Republik ini bukan hanya membalikkan kebenaran—tetapi memperdagangkannya.
Satire menjadi satu-satunya bahasa yang waras ketika kenyataan telah melampaui batas kegilaan. Ini adalah zaman ketika keadilan dicabik-cabik seperti daging murah, hukum berpura-pura pincang, dan suara rakyat hanya dihitung bila menguntungkan kekuasaan. Segala yang busuk ditutupi dengan dalih tradisi: “Mikul dhuwur mendem jero.” Hormati pemimpin, hapus sejarahnya. Hormati bangsawan politik, kubur skandalnya. Hormati masa lalu, enyahkan baunya.
Ini bukan penghormatan. Ini ketakutan yang disulap menjadi adat. Bukan tradisi, melainkan perangkat penjinakan rakyat.
Namun sebagaimana selalu terjadi, rakyat tetap berdoa. Di masjid, gereja, vihara, dan pura, mereka memohon perubahan. Doa-doa itu naik ke langit dengan getir, sementara di bumi kekuasaan menggali lebih dalam untuk menutup boroknya. Rakyat percaya pada kejujuran; negara percaya pada pencitraan. Rakyat mengangkat harapan; negara mengangkat pungutan.
Dan seperti lakon yang buruk namun dipertontonkan setiap hari, negeri ini terus bersolek seolah semuanya baik-baik saja. Seakan tak ada janji yang dibunuh. Seakan tak ada keadilan yang disembelih. Seakan tak ada anak hilang, hutan hilang, masa depan hilang.
Mikul dhuwur mendem jero—ajaran luhur yang kini menjadi mantra untuk membungkam keberanian rakyat. Adagium yang disucikan ulang agar kerakusan dapat berjalan tanpa malu dan tanpa jeda.
Namun sejarah memiliki kebiasaan buruk: ia selalu kembali membawa bau yang tak mungkin ditutup dengan dupa, lonceng, atau khutbah suci. Jika republik ini terus mengubur kebenaran seperti mayat di malam gelap, jangan salahkan siapa pun bila suatu hari rakyat menggali seluruh kuburan itu—dan untuk pertama kalinya, bangsa ini benar-benar mencium apa yang selama ini disembunyikan.




