Memahamkan Krismuha ke Tingkatan Ranting (Tanggapan untuk Ustaz Asruri Muhammad)

Oleh: Rokhmat Widodo, Aktivis Muhammadiyah Kudus

Beberapa hari terakhir, istilah Krismuha kembali ramai diperbincangkan, terutama setelah tulisan Ustaz Asruri Muhammad, pegiat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta Selatan, berjudulKrismuha: Pepatah, Istilah, atau Kelakar?” beredar di berbagai platform media dakwah. Tulisan itu menyoroti penggunaan istilah Krismuhasingkatan dari “Kristen Muhammadiyah”—yang dianggap membingungkan, bahkan dinilai sebagai bentuk kontradiksi yang mencampuradukkan dua identitas yang secara teologis berbeda: Kristen sebagai agama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam.

Keresahan itu dapat dipahami. Dalam tataran semantik, istilah Krismuha memang terdengar janggal, bahkan absurd, bagi sebagian warga Muhammadiyah yang terbiasa berpikir secara teologis dan ideologis lurus. Namun, untuk memahami istilah ini secara utuh, kita perlu menempatkannya bukan dalam kerangka teologis yang kaku, melainkan dalam konteks sosial, historis, dan misi dakwah pendidikan yang menjadi ruh Muhammadiyah sejak kelahirannya.

Istilah Krismuha bukanlah proyek ideologis, melainkan fenomena sosial yang muncul dari realitas keberagaman siswa di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Banyak sekolah Muhammadiyah, terutama di wilayah minoritas Muslim atau di kota-kota besar dengan masyarakat majemuk, menerima siswa non-Muslim—baik Kristen maupun Katolik.

Para siswa ini belajar, tumbuh, dan berinteraksi di lingkungan Muhammadiyah. Mereka mengikuti pendidikan dengan disiplin, belajar nilai-nilai kejujuran, kebersihan, kedisiplinan, dan tanggung jawab yang diajarkan dalam kultur Muhammadiyah. Maka, ketika mereka dengan bangga menyebut diriKrismuha”—Kristen yang sekolah di Muhammadiyah—itu bukanlah bentuk sinkretisme, melainkan pengakuan atas pengalaman kebudayaan dan pendidikan yang membentuk karakter mereka.

Dalam konteks ini, Krismuha adalah tanda keberhasilan dakwah kultural Muhammadiyah. Dakwah yang tidak menuntut orang lain untuk memeluk Islam, tetapi membuka ruang dialog, membangun kedekatan, dan menebarkan nilai-nilai keislaman universal seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.

Baca juga:  Tokoh Muhammadiyah: Di Belakang Ahok Ada Kekuatan Besar Ingin Ambil Alih Indonesia

Sejak awal, Muhammadiyah lahir dengan semangat pembaruan (tajdid) yang rasional dan inklusif. KH Ahmad Dahlan tidak pernah mendirikan sekolah hanya untuk umat Islam. Sekolah-sekolah Muhammadiyah justru dikenal sebagai ruang perjumpaan sosial lintas iman.

PrinsipLakum dīnukum waliya dīnbagimu agamamu, bagiku agamakutelah menjadi pedoman diam-diam dalam praksis pendidikan Muhammadiyah. Prinsip ini bukan sekadar pernyataan pemisah, tetapi bentuk penghormatan terhadap perbedaan yang tidak menghalangi kerja sama dalam kebaikan.

Karena itu, keberadaan siswa Kristen di sekolah Muhammadiyah tidak pernah menjadi masalah. Bahkan, banyak dari mereka tumbuh dengan karakter yang lebih toleran dan memahami Islam dengan cara yang damai. Maka, Krismuha sebenarnya adalah cermin dari keberhasilan misi dakwah pendidikan Muhammadiyah yang terbuka dan berkeadaban.

Sebagian pihak khawatir istilah Krismuha bisa memunculkan sinkretisme atau mencairkan batas teologis antara Islam dan Kristen. Kekhawatiran ini wajar, terlebih jika kita melihat maraknya wacana pluralisme agama yang sering disalahpahami. Namun, kekhawatiran itu perlu diletakkan pada tempatnya.

Muhammadiyah adalah ormas Islam yang kokoh dalam akidah tauhid. Dalam sejarahnya, tidak pernah sekalipun Muhammadiyah mengaburkan batas iman demi meraih simpati. Keterbukaan Muhammadiyah bukan pada teologi, melainkan pada kemanusiaan. Dakwah Muhammadiyah bukanlah dakwah konfrontatif, tetapi dakwah bil hikmah—dengan kebijaksanaan dan keteladanan.

Dengan demikian, istilah Krismuha tidak mengancam identitas keislaman Muhammadiyah. Ia hanya bahasa sosial yang tumbuh secara spontan dari interaksi lintas iman yang sehat. Bahasa ini tidak lahir dari forum ideologis, tetapi dari ruang kelas, lapangan upacara, dan kantin sekolahtempat anak-anak belajar hidup berdampingan tanpa prasangka.

Permasalahan sebenarnya muncul ketika istilah seperti Krismuha turun ke tingkat ranting atau cabang tanpa penjelasan yang memadai. Di akar rumput, istilah ini bisa ditafsirkan keliru dan menimbulkan kesalahpahaman.

Baca juga:  Lancang, Melarang Muhammadiyah Menggunakan Fasilitas Negara untuk Sholat Id

Maka, tugas pimpinan Muhammadiyah di tingkat bawah adalah memahamkan, bukan menolak mentah-mentah. Jangan buru-buru memvonis istilah baru sebagai penyimpangan sebelum memahami konteks kemunculannya.

Ranting dan cabang perlu menjelaskan kepada warga bahwa Krismuha bukanlah ajaran baru, melainkan bentuk apresiasi sosial terhadap dakwah pendidikan Muhammadiyah. Ia menjadi bukti bahwa sekolah Muhammadiyah mampu menjadi ruang aman bagi siapa pun tanpa kehilangan identitas keislamannya.

Di tengah polarisasi identitas dan meningkatnya intoleransi, fenomena seperti Krismuha justru menjadi oase. Muhammadiyah berhasil membuktikan bahwa Islam bisa hadir dengan wajah ramah, bukan marah; mengajak, bukan mengusir; merangkul, bukan memukul.

Inilah dakwah peradaban yang kini menjadi agenda penting Muhammadiyah. Dakwah yang tidak sekadar menyampaikan ayat, tetapi menanamkan nilai. Dakwah yang mengubah prasangka menjadi penghormatan, perbedaan menjadi dialog, dan sekolah menjadi tempat persemaian nilai kemanusiaan universal.

Tulisan Ustaz Asruri Muhammad membuka ruang dialog yang sehat. Namun, penting bagi kita untuk tidak berhenti pada kebingungan semantik. Muhammadiyah bukan hanya gerakan dakwah, tetapi juga gerakan ilmu dan pendidikan. Maka, setiap istilah yang muncul dari praksis sosial Muhammadiyah harus didekati dengan ilmu, bukan reaksi.

Krismuha adalah cermin betapa luasnya jangkauan dakwah Muhammadiyah. Ia bukan ancaman, melainkan peluang. Peluang untuk menunjukkan bahwa Islam mampu berdialog tanpa kehilangan jati diri. Bahwa pendidikan Muhammadiyah adalah rumah besar bagi semua pencari ilmutanpa memaksa, tanpa menghakimi, tetapi tetap menegaskan: “Lakum dīnukum waliya dīn.”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News