Vonis enam tahun penjara yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Bidang Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menuai reaksi keras dari Ketua Umum Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (FORMASI), Jalih Pitoeng. Aktivis yang dikenal vokal dalam isu antikorupsi itu menyatakan kekecewaannya terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dianggapnya terlalu ringan untuk pelaku korupsi yang telah merugikan banyak pihak, terutama para pegiat seni dan budaya Betawi.
“Saya sangat kecewa dengan putusan hakim tersebut,” ujar Jalih Pitoeng ketika dihubungi, Sabtu (1/11/2025).
Menurutnya, majelis hakim seharusnya memiliki pertimbangan hukum yang lebih tajam dan berpihak pada rasa keadilan publik, terutama mengingat dampak sosial yang ditimbulkan dari kasus tersebut. “Mestinya ketua majelis hakim mempertimbangkan sebelum memutus perkara,” katanya.
Kasus korupsi yang menjerat eks pejabat Dinas Kebudayaan DKI Jakarta itu diketahui melibatkan penyalahgunaan dana kegiatan kesenian dan kebudayaan, termasuk program pelestarian budaya Betawi. Praktik korupsi tersebut disebut berlangsung sistematis selama beberapa tahun, menyebabkan dana yang seharusnya diperuntukkan bagi komunitas seni dan para pegiat budaya justru mengalir ke kantong pribadi sejumlah oknum.
Jalih Pitoeng yang sejak awal turut mengawal kasus tersebut mengungkapkan bahwa tindakan para pelaku telah menodai semangat pelestarian budaya lokal. “Apalagi korupsi tersebut dilakukan dengan sistematis dan merugikan banyak para pelaku dan pegiat seni budaya Betawi selama beberapa tahun,” tegasnya.
FORMASI, di bawah kepemimpinan Jalih, dikenal aktif mengawal berbagai dugaan penyimpangan dana publik, terutama di sektor sosial dan kebudayaan. Mereka bahkan sempat melayangkan laporan awal ke aparat penegak hukum terkait dugaan penyalahgunaan anggaran kegiatan kebudayaan sejak dua tahun lalu.
Menurut Jalih, vonis enam tahun penjara tidak sebanding dengan kerugian moral dan material yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi tersebut. Ia menilai hukuman itu justru memberi sinyal yang salah kepada publik tentang keseriusan negara dalam memberantas korupsi.
“Kalau pelaku korupsi di sektor budaya saja hanya divonis enam tahun, ini bisa jadi preseden buruk. Korupsi yang merugikan masa depan generasi dan nilai-nilai kebudayaan seharusnya dihukum lebih berat,” ungkapnya.
Ia menilai majelis hakim perlu memperhatikan dimensi sosial dan moral dari tindak pidana korupsi, bukan semata aspek administratif atau nominal kerugian negara. “Yang dicuri itu bukan sekadar uang, tapi juga semangat pelestarian budaya Betawi yang merupakan jati diri bangsa,” tambah Jalih.
Meski kecewa, Jalih Pitoeng menegaskan bahwa pihaknya tetap menghormati putusan pengadilan sebagai wujud ketaatan terhadap hukum. “Namun demikian, sebagai warga negara yang taat hukum, kami tetap menghormati putusan tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mendorong agar lembaga peradilan dan kejaksaan memperkuat komitmen terhadap pemberantasan korupsi, terutama di sektor publik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ia juga menyerukan agar sistem pengawasan di instansi pemerintah diperketat agar kasus serupa tidak kembali terulang.
“Pemerintah daerah dan pusat harus memperbaiki sistem pengelolaan anggaran kebudayaan agar lebih transparan. Dana publik harus benar-benar digunakan untuk masyarakat, bukan untuk memperkaya pejabatnya,” tutup Jalih Pitoeng.





